Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu...

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Soeharto: Piye Kabare? Penak Jamanku Tho?

24 Oktober 2013   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:06 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Piye kabare? Penak Jamanku tho? (Gimana kabarnya? Mudah waktu di jamanku kan?). Entah siapa yang pertama kali membuatnya, yang jelas kalimat tersebut atau yang serupa sekarang banyak terpampang dalam bentuk stiker ataupun background bak truk lengkap dengan foto Pak Harto yang tengah tersenyum sembari melambaikan tangannya, bahkan di salah satu rumah kader Partai Hanura di daerah saya yang dijadikan sebagai sekretariat partai pimpinan Wiranto itu ada baliho serupa dipasang di depan rumah berdampingan dengan papan sekretariat partai.

Apa benar demikian Jaman Pak Harto lebih enak dibandingkan jaman sekarang? Coba kita bandingkan berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai berikut :

1.1975 – 1980; Di tahun – tahun ini hampir tiap hari saya sekelurga sarapan bubur atau nasi dengan lauk ikan asin bakar, terkadang juga makan ubi rebus, ubi urap, ataupun nasi aking. Makan enak hanya jika ada tetangga yang mengadakan syukuran, selamatan, kenduri atau hajatan, itupun belum tentu tiap bulan ada tetangga yang punya hajat. Orang menyembelih hewan kurban pada hari raya Idul Adha juga bisa dihitung dengan jari, tiap masjid belum tentu menyembelih seekor sapi, paling juga kambing, dan tiap kepala keluarga rata – rata paling hanya mendapatkan 1 (satu) bagian daging kurban dari panitia / tetangga terdekat.

2.1981 – 1985; Waktu sekolah di MI (setingkat SD) kebanyakan anak – anak kampung masih nyeker (tidak pakai sepatu), di kelas saya yang berjumlah 30an anak, hanya 3 (tiga) anak yang bersepatu, anak Pak Haji, anak Pak Guru, dan adik Bu Guru. Tiap hari saya hanya mendapatkan jatah uang saku rata – rata Rp. 25,00 dan hanya ada beberapa gelintir anak yang membawa uang saku di atas Rp. 100,00 bahkan sebagian lagi tidak selalu mendapatkan uang saku dari orang tuanya. Soal makanan sehari – hari masih tidak jauh berbeda dengan tahun 1975 – 1980, hanya saja di era ini ikan asin sudah tidak dibakar lagi, tapi digoreng dengan minyak klentik (minyak kelapa buatan sendiri).

3.1986 – 1990; Saat akan mengikuti ujian akhir, untuk pertama kalinya saya dan juga teman – teman yang lain dibelikan sepatu oleh orang tua, karena pihak sekolah mewajibkan seluruh siswa kelas 6 (enam) yang akan ujian harus memakai sepatu. Sepatu itu pulalah yang kemudian digunakan untuk sekolah di SMP, dan dari 30an teman – teman yang menamatkan MI hanya sekitar 10 anak yang melanjutkan ke jenjang SMP dan beruntung saya termasuk ada di dalamnya, dan itupun tidak semuanya berhasil menamatkan SMP, sebagian teman terpaksa berhenti di tengah jalan karena alasan biaya, karena waktu itu Pak Harto belum ada dana BOS atau jenis bea siswa lainnya dari pemerintah. Untuk bisa mendapatkan uang saku rata Rp. 200,00 per hari, saya tiap hari harus membantu orang tua ke sawah, mencari kayu bakar ataupun pekerjaan lainnya. Untuk bisa membeli buku cetak (buku pelajaran sekolah – red), saya bahkan harus nyambi menjadi pedagang asongan di bus umum sepulang sekolah. Sepatu, tas, dan baju saya juga harus bersyukur bisa nglungsur (mewarisi pakaian bekas) dari saudara – saudara yang sukses di Jakarta. Soal makanan sudah ada sedikit kemajuan, tidak haris sarapan bubur setiap pagi, dan tidak harus selalu makan dengan lauk ikan asin goreng, terkadang sudah ada selingan tempe atau tahu, telor dan daging masih menjadi lauk yang istimewa yang belum tentu bisa dinikmati setiap sebulan sekali.

4.1991 – 1995; Dari sekitar 40an siswa SMP yang berhasil menamatkan pendidikannya, hanya sekitar 15 anak yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, saya terpaksa harus ngenger (ikut di rumah orang), membantu pekerjaan rumahnya setiap pagi dan sore. Berangkat sekolah pun harus berjalan kaki menempuh jarak sekitar 1 km bersama dengan teman – teman. Ongkos naik angkutan umum waktu itu Rp. 200,00 tapi kebanyakan siswa – siswi selain berjalan kaki, untuk jarak tempuh yang lebih dari 1 km memilih naik sepeda onthel, hanya ada sekitar 2 – 3 anak yang naik sepeda motor yang benar – benar berasal dari keluarga mampu (orang kaya). Selama di SMA saya hanya mendapatkan jatah uang saku antara Rp. 10.000,00 s/d Rp. 15.000,00 per bulan. Soal makanan, di era ini sudah banyak perubahan, hampir setiap hari sudah bisa makan dengan tahu dan tempe, seminggu atau dua minggu sekali juga bisa makan dengan lauk telor dan daging.

5.1996 – 2000; Selepas SMA pada tahun 1994-an, sebagian besar teman – teman memilih untuk mengadu nasib mencari pekerjaan ke luar kota. Saya sendiri memutuskan untuk kuliah sambil bekerja apa saja. Untuk membayar kuliah yang hanya Rp. 120.000,00 per semeseter saya menjajakan koran, majalah, bulletin, buku, kaligrafi dan lain – lain secara door to door, dari satu pintu ke pintu yang lain, dari satu teman ke teman yang lain berhasil menamatkan studi bersamaan dengan tumbangnya Rezim Soeharto.

6.2001 – 2005; Era Reformasi telah bergulir, era keterbukaan telah dimulai. Hasil tabungan sejak SMA hingga kuliah saya gunakan untukmebuka usaha patungan denganbeberapa orang teman memulai usaha kecil – kecilan di kampung halaman sendiri berupa rental komputer dengan modal sekitar 10jt rupiah. Selain itu saya juga mengajar (wiyata bakti) di sebuah SMP dan sejak tahun 2004 saya juga menggeluti dunia jurnalistik, menjadi wartawan daerah sekitar 5 tahunan ; http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/10/20/ini-dia-10-keuntungan-jadi-wartawan-603127.html

7.2006 – 2010; Di tahun 2007 saya menikah dan membangun rumah tangga baru di kampung halaman dan pada tahun 2008 saya memutuskan untuk pensiun dari dunia pers.

8.2011 – sekarang; Anak saya yang baru kelas 1 MI (setingkat SD), setiap hari menghabiskan uang jajan antara Rp. 10.000,00 s/d Rp. 15.000,00 dan ini merupakan angka yang lumayan tinggi untuk ukuran uang jajan di wilayah pedesaan. Lihatlah hampir di setiap rumah di sekitar kita sekarang sudah bertengger sepeda motor type terbaru. Di tiap – tiap rumah juga terdapat 2 – 3 HP yang tiap saat dan tiap waktu juga membutuhkan uang untuk mengisi pulsa. Dari segi makanan sekarang jelas jauh lebih baik dari 10 – 15 tahun yang lalu, sudah jarang ditemukan di lingkungan kita masyarakat yang sarapan bubur nasi,makan nasi lauk ikan asin bakar, makan nasi aking, dan urap ketela. Jalan – jalan sudah padat dipenuhi kendaraan bermotor baik roda empat maupun sepeda motor. Anak – anak sekolah tinggal modal berangkat saja, biaya (sebagain) sudah ditanggung pemerintah lewat dana BOS, BOM, kompensasi BBM dan bea siswa lainnya yang pada puluhan tahun sebelumnya kita belum pernah menikmatinya. Anda mendaftar haji tahun ini kemungkinan baru bisa berangkat tahun 2023, harus antri 10 tahun, tidak seperti jaman dulu, daftar tahun ini langsung berangkat tahun ini juga. Hari Raya Idul Adha kemarin, di kampung saya ada sekitar 20an ekor sapi yang dipotong untuk kurban, dan keluarga saya juga mendapatkan lebih dari 10 bagian kantong plastik dari panitia yang berbeda – beda, itu artinya sekarang jauh lebih makmur dari jaman dulu dan masih banyak indikator – indikator lain yang bisa dijadikan bahan pembanding apakah jaman dulu (jaman Pak Harto) lebih penak dibanding jaman sekarang, demikian sebaliknya.

Kembali ke pertanyaan yang terpampang di stiker – stiker yang seolah – olah itu adalah pertanyaan Pak Harto; “Pye kabare? Penak jamanku tho?” (Gimana kabarnya? Mudah waktu di jamanku kan?), maka saya jawab dengan tegas ; “Ora, penak jaman siki!” (Tidak, lebih enak jaman sekarang!), bagaimana pengalaman sekaligus pendapat Anda? hehe.. ditulis sambil nonton pertandingan persahabatan Indonesia Red vs United Red dengan tajuk “Batle of Red” dan ini hasilnya; http://olahraga.kompasiana.com/bola/2013/10/23/indonesia-red-vs-united-red-banjir-goal-604228.html (Agam; 23 Oktober 2013)

Alih Kanal Politik; http://politik.kompasiana.com/2013/10/21/koalisi-partai-islam-diambang-kegagalan-603546.html, http://politik.kompasiana.com/2013/10/21/nasib-jokowi-bukan-di-tangan-megawati-603719.html

Salam Kompasiana !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun