Mohon tunggu...
Muhamad Habib Koesnady
Muhamad Habib Koesnady Mohon Tunggu... Guru - Pengajar Teater

Mempelajari Seni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Pascapandemi: Sudah Waktunya Guru Berhenti Mengajar

19 Desember 2022   21:01 Diperbarui: 19 Desember 2022   21:08 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

*tulisan ini ditulis untuk kolom opini guru di majalah Kertas edisi ke-7 yang diterbitkan oleh Ekstrakurikuler Jurnalistik SMKN 13 Jakarta.

Dalam menghadapi Pandemi Covid-19, dunia pendidikan di Indonesia mengalami masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama hampir 2 tahun. Setidaknya itu yang dirasakan di SMKN 13 Jakarta—mungkin setiap daerah punya durasi PJJ yang berbeda-beda. Selama PJJ, tentu saja seluruh civitas academica, entah itu guru maupun pelajar, dipaksa beradaptasi dengan sangat cepat. Semua dipaksa untuk menggunakan teknologi sebagai media dalam melakukan pembelajaran. Tidak mungkin tidak, karena itu satu-satunya jalan untuk tetap berinteraksi.

PJJ tentu saja memiliki dampak yang signifikan dalam pola belajar maupun mengajar. Ibu bapak guru mempersiapkan materi secara digital. Ada yang menggunakan Google Meeting, Google Classroom, membuat Presentasi Powerpoint lalu dijelaskan di Google Meeting, membuat video pembelajaran hingga mengkombinasikan materi-materi yang tersedia di internet. Materi-materi yang bersifat teori cenderung lebih mudah diajarkan dibanding praktik.

Dalam hal materi teori/pengetahuan, mesin pencarian seperti Google sudah sangat dekat dengan anak-anak, bahkan jauh sebelum pandemi. Membuka Google jika kepo terhadap sesuatu sudah menjadi habitus anak-anak di Generasi Z (usia 10-25 tahun). Anak-anak dapat berselancar di internet untuk mencari tahu tentang apa yang ingin mereka tahu. Kuncinya adalah apa yang ingin mereka tahu alias kepo. Lalu, pertanyaannya adalah: apakah sebuah materi/mata pelajaran sudah cukup memantik rasa kepo anak-anak untuk beselancar di internet dengan intens?

Setelah itu, muncul pertanyaan, bagaimanakah dampak positif/negatif penggunaan gadget yang intens tersebut? Saya balik bertanya, masih relevan kah dikotomi “positif” dan “negatif” digunakan dalam menilai segala fenomena yang ada? Masih relevan kah melihat sesuatu dengan cara hitam-putih? Bukankah ada hal abu-abu yang tidak termasuk hitam maupun putih. Bahkan ada warna lain seperti merah, hijau, jingga, violet, dsb. Jangan-jangan cara pandang hitam-putih membuat kita jadi “buta warna”.

Saya sebagai guru yang banyak mengajar mata pelajaran praktik, cukup memutar otak, bagaimana cara mengajar praktik teater tetapi tidak bertemu secara langsung. Sedangkan, hakikat dari teater/seni pertunjukan adalah pertemuan langsung. Teater adalah seni yang mewajibkan penonton & penampil bertemu dalam satu waktu. Di luar itu, materi-materi praktik teater juga membutuhkan intensitas latihan yang cukup. Analoginya seperti orang yang ingin belajar naik sepeda. Orang tersebut bisa saja membaca, menguasai bahkan menghafal buku “Tata Cara Naik Sepeda”, tetapi jika belum pernah bertemu, menyentuh & mencoba benda yang bernama sepeda, maka orang itu dijamin tidak akan bisa naik sepeda. Begitupun teater, saya bisa saja menjelaskan panjang kali lebar, apa dan bagaimana teater itu. Jikapun ada anak yang mampu menyerapnya seratus persen, anak tersebut tetap tidak akan bisa bermain teater. Karena tidak pernah bertemu, menyentuh & mencoba benda bernama teater.


Akhirnya, yang saya lakukan adalah menggunakan semaksimal mungkin media teknologi untuk melakukan aktivitas teater. Saya melakukan negosiasi terhadap keilmuan teater, yang tadinya mengharuskan pertemuan langsung, tetapi dalam konteks pandemi, teater beralih menggunakan media digital seperti video dan/atau siaran langsung. Perlu diketahui, ini juga terjadi di seluruh dunia. Genre Film-Teater menjadi genre yang populer karena dianggap sebagai “jalan keluar” dari keterbatasan pertemuan yang dialami dunia teater. Selain itu, konsep siaran langsung (serta penggunaan kamera 360 derajat) juga populer, meskipun yang ini memerlukan perangkat dan koneksi internet yang sangat baik.

Video (non-streaming) menjadi pilihan, mengingat siaran langsung membutuhkan sinyal & perangkat pendukung yang lebih rumit. Akhirnya anak-anak bisa melakukan/mencoba-coba teater dengan proyek akhir membuat video karya. Misalnya, di kelas 10 pada Mata Pelajaran Dasar Pemeranan anak-anak membuat minimal 2 proyek karya: Pantomim & Drama Audio. Lalu proyek tersebut dipublikasikan di Instagram mereka masing-masing dan saya mengambil posisi sebagai penonton konten mereka, termasuk melihat umpan balik yang ada di kolom komentar.


Sebetulnya bisa saja saya melakukan ujian karya dengan Zoom ataupun Google Meeting. Namun, saya rasa ada yang kurang, yaitu penonton. Jika karya tersebut hanya ditampilkan untuk ujian, untuk saya sebagai penilai, maka hakikat karya seninya akan berkurang. Oleh karena itu, saya memutuskan karya mereka harus ditampilkan di publik (sosial media mereka sendiri) karena respon penonton menjadi pembelajaran penting dan dapat melatih jiwa performer anak-anak Jurusan Pemeranan/Teater. Proyek video tersebutlah yang menjadi semacam jalur alternatif untuk tetap belajar teater di masa pandemi.


****

Pandemi yang berangsur membaik membuat kita kembali ke sekolah. Rasanya, seorang guru hanya butuh sedikit penyesuaian untuk kembali pada rutinitas mengajar. Lalu, yang menjadi soal, apakah segala rutinitas yang dilakukan sebelum pandemi, masih relevan dilakukan setelah pandemi? Pertanyaan yang saya ajukan pada diri saya sendiri ini dipantik oleh pengalaman semasa pandemi yang membuat semua orang memiliki habitus yang baru. Apakah kita harus kembali ke kebiasaan yang lama dan “beradaptasi” kembali untuk menjadi “kita yang lama”; kita yang sebelum pandemi? Atau, kebiasaan-kebiasaan baru yang dilakukan ketika pandemi dapat diteruskan, disesuaikan dengan konteks yang baru?

Apa yang terjadi pada anak-anak, setelah 2 tahun tidak berangkat ke sekolah? Presentase anak usia 5 tahun ke atas yang mengakses internet menurut tujuan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 dipimpin oleh aktivitas media sosial (88,99%); mendapatkan informasi (66,13%); hiburan (63,08%). Sedangkan mengakses internet untuk tujuan tugas sekolah ada di peringkat ke-4 dengan presentase sebesar 33,04%. Selain itu, survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 11 Januari-24 Februari 2022 menyatakan 76,63% anak usia 13-18 tahun mengaku meningkatkan frekuensi penggunaan internetnya. Dari data tersebut di atas, menunjukan bahwa anak-anak jauh lebih kepo dari apa yang ditugaskan. Mereka menggunakan internet untuk tugas sekolah “hanya” 33,04%. Meskipun tentu angka ini bukan angka yang kecil. Namun jika dibandingkan dengan tujuan mendapatkan informasi (66,13%), mencari tugas sekolah hanya separuhnya saja. Belum lagi jika dibandingkan dengan aktivitas media sosial yang mencapai 88,99%.

Memaksimalkan penggunaan teknologi dalam proses pendidikan adalah niscaya. Dalam hal ini, justru kadang-kadang guru yang mesti menyesuaikan. Saya saja, guru yang terhitung muda, perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian supaya tetap relevan bagi anak-anak. Supaya penetrasi saya pada aktivitas internet anak-anak, tidak membuat mereka justru canggung. Misalnya seperti pada pemberian tugas yang mesti menggunakan akun sosial media mereka. Ketika mereka diminta untuk memposting karya mereka di Sosial Media, apakah mereka merasa nyaman? Apakah karya tersebut menjadi karya yang membanggakan mereka? Atau justru malah membuat mereka canggung dengan karya tersebut dan—parahnya—menganggap postingan tersebut adalah “aib” bagi mereka. Hal tersebut bisa saja terjadi ketika karya yang ditampilkan belum cukup bagus.

Maka, dari awal saya sudah mewanti-wanti mereka untuk menggunakan effort sebesar-besarnya dalam membuat proyek karya. Saya pun harus memberikan umpan balik yang baik, yang dapat menstimulasi mereka menuju karya yang baik/bagus. Hal ini disebut latihan. Latihan dalam mempersiapkan proyek ini berimplikasi pada alokasi waktu pembelajaran yang cukup panjang. 

Tidak jarang anak-anak mengeluhkan kekurangan waktu dalam menyelesaikan proyek. Akhirnya, saya memutuskan menggunakan waktu dalam mata pelajaran teori. Karena saya pikir, jika karya ini berhasil, karya ini dapat menjadi portofolio yang baik buat anak-anak. Entah nanti dapat berguna ketika melanjutkan di perguruan tinggi dan/atau ketika melamar pekerjaan. Ketika mereka diminta menunjukan portofolio karya, mereka tinggal membuka internet untuk menunjukan bukti karya yang pernah mereka buat. Bahkan beberapa karya pilihan dipublikasikan di akun Youtube SMKN 13 Jakarta. Algoritma internet akan lebih mengenali nama mereka, jika nama mereka sering ditulis pada platform tersebut.

Jika ada yang bertanya mengenai waktu pada mata pelajaran teori yang digunakan untuk berlatih, saya menggunakan internet (kembali) sebagai strategi. Saya menyediakan materi teori di internet: di akun Youtube pribadi saya dan/atau di video yang saya sebarkan melalui Google Drive/Classroom dengan asumsi bahwa anak-anak memiliki kebiasaan berselancar di internet. Sebagian besar waktu saya gunakan untuk melatih anak-anak dalam membuat proyek karya. Tentu saja hal ini menuntut peran aktif anak-anak untuk berselancar di internet dalam memperdalam pengetahuan teori. Dengan pola yang seperti itu, praktis saya “berhenti mengajar” pada mata pelajaran teori. Pertanyaannya, apakah cara saya ini relevan bagi semua jenis mata pelajaran? Jika tidak, tentu dapat diabaikan. Tetapi jika iya, apakah ini waktunya guru “berhenti mengajar” pelajaran teori?


Tentu saja segala hal yang telah saya sebutkan di atas baru bisa berjalan dengan baik jika semua civitas academica diberikan akses yang baik pada internet. Ini adalah prasyarat mutlak. Jika tidak, segala hal yang telah saya tulis, dapat dilupakan perlahan-lahan. Mungkin kita dapat kembali menjadi “kita yang lama”; kita yang sebelum pandemi.

Sumber data:

- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/24/bps-8899-anak-5-tahun-ke-atas-mengakses-internet-untuk-media-sosial

- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/10/penggunaan-internet-paling-meningkat-di-kalangan-remaja-ini-penyebabnya

Yogyakarta, 20 November 2022

Muhamad Habib Koesnady
Guru Jurusan Pemeranan/Seni Teater
SMK Negeri 13 Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun