Mohon tunggu...
Bayu Sukma
Bayu Sukma Mohon Tunggu... Guru Private yang suka Menulis

Freelencer, blogger, and Writer. For inquiries contact me sukmabayu4648[at]gmail[dot]com I opiniku14.wixsite.com/abay

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Iran dalam Perjuangan Palestina dan Reduksi Nalar Publik: Kritik atas Nalar Felix Siauw

26 Juni 2025   10:41 Diperbarui: 26 Juni 2025   10:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Harakatuna.com

Iran dalam Perjuangan Palestina dan Reduksi Nalar Publik: Kritik atas Narasi Felix Siauw


Dalam dinamika konflik global yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel, pertempuran tidak hanya terjadi di medan perang dan meja diplomasi, tetapi juga dalam ruang-ruang narasi. Di era digital, opini publik dibentuk bukan hanya oleh lembaga negara atau media massa, tetapi juga oleh para tokoh agama, influencer, dan figur publik yang memiliki jutaan pengikut. Di sinilah pertarungan makna berlangsung, dan di sinilah pula sering terjadi penyederhanaan atas realitas yang kompleks. Salah satunya adalah narasi yang menyebut bahwa Iran mendukung Palestina bukan karena ideologi atau solidaritas, melainkan semata demi kepentingan nasional pragmatis.

Pernyataan semacam itu, yang salah satunya dilontarkan oleh dai populer Indonesia Felix Siauw, menuntut kajian kritis yang lebih mendalam. Sebab ia tidak hanya keliru secara faktual dan historis, tetapi juga problematik secara teoritis dan etis. Ia merepresentasikan cara berpikir reduksionis, yaitu menyederhanakan fenomena yang kompleks seperti dukungan Iran terhadap Palestina menjadi satu variabel tunggal: kepentingan politik negara. Padahal, dalam sejarah modern Timur Tengah, dukungan Iran terhadap Palestina justru menjadi contoh paling konsisten dari keberpihakan ideologis terhadap kaum tertindas---yang tidak bisa dilepaskan dari ruh Revolusi Islam 1979 dan cita-cita anti-imperialis yang melandasinya.

Tulisan ini hadir untuk menggali lebih dalam posisi Iran dalam perjuangan rakyat Palestina. Tidak hanya berdasarkan data sejarah dan fakta geopolitik, tetapi juga melalui kerangka teori sosial dan filsafat politik. Pendekatan ini penting untuk menyingkap bahwa dalam dunia wacana, sebagaimana dikemukakan Antonio Gramsci, tokoh-tokoh populer bisa menjadi agen hegemoni narasi dominan, bahkan ketika mereka berbicara atas nama agama. Sementara dari sisi filsafat politik Islam, sikap Iran merupakan representasi dari nilai-nilai universal Islam: keadilan (al-'adl), solidaritas (takaful), dan pembelaan terhadap kaum tertindas (al-mustadh'afin).

Dengan menelusuri jejak sejarah, bukti-bukti konkret dukungan Iran, dan menyandingkannya dengan kritik terhadap narasi sektarian yang berkembang, tulisan ini bertujuan untuk meluruskan cara pandang umat Islam. Di tengah derasnya normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel, Iran berdiri sendirian di garis depan, meski harus menanggung sanksi, isolasi, dan demonisasi global. Ini bukan kalkulasi politik biasa, tetapi sebuah perjuangan ideologis yang tak bisa dikecilkan hanya karena perbedaan mazhab atau sentimen sektarian.

Lebih dari sekadar membela Iran, tulisan ini mengajak kita untuk lebih kritis dalam menerima narasi publik, khususnya yang berkaitan dengan isu krusial seperti Palestina. Karena ketika narasi-narasi keliru dibiarkan menyebar tanpa dibantah, bukan hanya akal sehat yang dirusak, tetapi juga solidaritas umat yang selama ini menjadi harapan terakhir bagi bangsa yang dijajah dan dilupakan.

Iran dalam Perjuangan Palestina: Fakta yang Tak Terbantahkan

Dukungan Iran terhadap perjuangan Palestina bukanlah sesuatu yang bersifat reaktif atau insidental. Ia lahir dari perubahan ideologis besar-besaran yang terjadi pasca Revolusi Islam tahun 1979. Revolusi tersebut bukan sekadar pergantian rezim politik, melainkan transformasi paradigma: dari monarki pro-Barat menjadi republik Islam anti-imperialis yang menempatkan pembelaan terhadap kaum tertindas (al-mustadh'afin) sebagai fondasi moral dan politik negara.

Salah satu keputusan penting pasca revolusi adalah mengubah kedutaan besar Israel di Teheran menjadi kedutaan besar Palestina---sebuah langkah simbolik dan politik yang belum pernah dilakukan negara manapun saat itu. Tindakan ini menandai awal komitmen resmi dan ideologis Iran terhadap perjuangan rakyat Palestina, bahkan ketika banyak negara Arab masih ambigu atau bahkan menjalin hubungan terselubung dengan Israel.

Ayatollah Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, menyebut Israel sebagai "ghudah sarataniyah" atau "tumor kanker" yang harus dicabut dari akar-akarnya. Ia menekankan bahwa perjuangan membebaskan Palestina bukanlah isu Arab semata, melainkan kewajiban seluruh umat Islam dan seluruh manusia yang menjunjung keadilan. Untuk memperkuat narasi ini, ia menetapkan Hari Quds Internasional (Youm al-Quds al-'Alami), yang diperingati setiap Jumat terakhir bulan Ramadhan, sebagai pengingat tahunan bahwa Palestina belum merdeka dan masih dijajah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun