Mohon tunggu...
Abang Rahino S.
Abang Rahino S. Mohon Tunggu... Freelancer - Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

A documentary film maker & feature writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Skandal Lagu Kebangsaan Indonesia Raya

16 Agustus 2017   22:37 Diperbarui: 17 Agustus 2017   14:19 1980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo dalam upacara pengukuhan Paskibraka di Istana Negara, Jakarta, Selasa (15/8/2017).(KOMPAS.com/IHSANUDDIN)

Antara delapan sampai dengan duabelas jam sesudah artikel ini ditulis, lagu kebangsaan "Indonesia Raya" akan berkumandang di berbagai pelosok negeri. Ia dinyanyikan dalam peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sudah sejak 1952 orkestrasi Indonesia Raya menjadi biasa seperti apa yang kita dengar dan nyanyikan selama ini. Namun apakah kita menyadari bahwa orkestrasi musik Indonesia Raya saat ini dapat dikatakan sebagai buah dari saahsatu skandal musik terbesar di negeri ini?

Tempo di Marcia

Wage Rudolf Supratman menggubah dan memperdengarkan karya musiknya dalam spirit membangkitkan kebangsaan keindonesiaan, di kalangan pemuda yang menggelar Kongres Pemuda 1928. Membangkitkan semangat kebangsaan perlu musik yang penuh vitalitas. Maka diciptakanlah Indonesia Raya dalam irama Tempo di Marcia. Irama mars cocok dengan lirik berbahasa Indonesia yang kemudian ditempelkan pada karya musiknya. Simaklah syair stanza pertama:

Indonesia tanah airku

Tanah tumpah darahku

Di sanalah aku berdiri

Jadi pandu Ibuku

Indonesia kebangsaanku

Bangsa dan tanah airku

Marilah kita berseru

Indonesia bersatu

Refrain:

Hiduplah tanahku

Hiduplah negriku

Bangsaku rakyatku

Semuanya

Bangunlah jiwanya

Bangunlah badanya

Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya

Merdeka, merdeka

Tanahku negriku

Yang kucinta

Indonesia Raya

Merdeka, merdeka

Hiduplah

Indonesia Raya

Syair itu pas dan berkesesuaian dengan musik karya Supratman.  Namun kemudian datanglah skandal itu...

Maestoso

Adalah pemusik Jozef Cleber dari Belanda yang pada tahun 1952 membuat orkestrasi untuk Indonesia Raya. Ketika karyanya diperdengarkan pada Bung Karno, Sang Presiden meminta komposisi itu dirubah. Bung Karno menghendaki agar Indonesia Raya berirama mirip dengan 'Wilhelmus van Nassaouwe', lagu kebangsaan Belanda. Entah mengapa Bung Karno menghendaki demikian.

Wilhelmus digubah oleh Adriaan Valerius, sebagai hymne (lagu pemujaan) bagi Willem dari Nassau. Sebagai hymne, sangat dimengerti bila lagu kebangsaan Belanda ini tampil anggun dalam tempo maestoso.

Tidak Sinkron

Alhasil, dalam diri lagu kebangsaan kita Indonesia Raya, antara semangat membangkitkan rasa kebangsan, lirik lagu, dan musikalisasi pada Indonesia saling tidak sinkron. Simaklah sebagai contoh syair pada Refrain ini:

Hiduplah tanahku

Hiduplah negriku

Bangsaku rakyatku

Semuanya

Bangunlah jiwanya

Bangunlah badannya

Untuk Indonesia Raya

Dalam orkestrasi Jos Cleber, bagian Refrain tersebut terpaksa digubah dengan irama melembut. Itu atas instruksi Sukarno. Secara psikologis, bagaimana mungkin sebuah ajakan untuk membangkitkan semangat hidup justru dilantunkan dengan lembut? Sangat tidak masuk akal.

Hal konyol kedua adalah di bagian akhir (coda). Tiga birama terakhir Indonesia Raya ditempelkan syair "Hiduplah Indonesia raya". Dari syairnya jelas bahwa itu sebuah ajakan kepada bangsa Indonesia agar tetap hidup, tetap punya semangat kebangsaan. Namun apa lacur, justru di bagian itu ditempelkan perintah rittardandoatau sedikit demi sedikit melambat.

Selera Bung Karno

Demikianlah, orkestrasi Indonesia Raya saat ini tidak lain adalah buah dari selera musik Bung Karno. Dengan kekuasaannya sebagai Presiden, Sukarno meminta Jos Cleber merombak orkestrasi Indonesia Raya. Tidak jelas benar apakah Jos Cleber telah menjelaskan kepada Bung Karno tentang isu ketidaksinkronan ini, atau mungkin sudah dijelaskan namun BK keukeuh dengan pendiriannya. Karena Sukarno memang kondang diktatorsipnya. Ayah saya pernah kena batunya pada tahun 1943 gegara Sukarno membela pelukis kesayangannya Basuki Abdullah.

Apa pun itu, tampak bahwa Bung Karno tidak memahami dunia musik secara mendalam dengan segala etika di dalamnya. Etika hak cipta telah dilanggarnya. Pemahaman tentang sifat lirik dan musik beserta komposisinya juga tidak dikuasainya.

Reformasi Orkestrasi

Sehingga jika diajukan pertanyaan kepada saya, lalu apa yang harus dilakukan dengan situasi yang demikian. Maka jawaban saya adalah perlu dilakukan reformasi orkestrasi musik pada lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Marwah ajakan Wage Rudolf Supratman untuk kebangkitan rasa kebangsaan bangsa Indonesia seyogyanya dikembalikan pada karyanya itu. Bukan justru menjadi karya lembek, lamban, anggun nan melambai. Lagu kebangsaan kita sesuai dengan lirik dan semangat awalnya harus tampil penuh vitalitas, bergelora, dan mampu mengajak bangsa Indonesia untuk hidup penuh semangat, agar kita menjadi bangsa yang penuh semangat pula untuk maju. Bukan bangsa yang lembek dan lamban.

Demikianlah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun