Mohon tunggu...
Abang Rahino S.
Abang Rahino S. Mohon Tunggu... Freelancer - Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

A documentary film maker & feature writer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terlalu Mudah Memahami 411 dan 212

5 Desember 2016   18:43 Diperbarui: 5 Desember 2016   19:02 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi itu tentu saja ditopang oleh sistem yang kolutif. Karenanya permainan kotor di segala bidang menjadi kebiasaan di negeri ini. Suap-menyuap, korupsi, kongkalingkong, adalah makanan sehari-hari. Sebab tanpa sistem itu, jelas pola menyambut para neokolonialis tidak bisa berjalan karena tidak sesuai dengan ideologi bangsa yang menjunjung tinggi kemandirian, kemakmuran bersama dalam sistem sosialisme, yang nyata-nyata dieksplisitkan dalam UUD dan Pancasila.    

Mandiri Harus Dibasmi 

Maka siapa pun pemimpin Indonesia yang memiliki semangat kemandirian, ia harus dibasmi. Para neokolonialis akan bahu membahu dengan elemen lokal yang sudah mapan menikmati kemakmuran, untuk melakukan pembasmian. Korban pertama setelah Soekarno adalah bahkan Soeharto yang pada periode awal berkuasanya justru menjadi arsitek utama yang membuat kita menjadi bangsa yang terjajah paham neokolonialisme. Namun sejak pertengahan 1980an, Soeharto mulai menampakkan upaya memandirikan Indonesia di berbagai bidang dimotori oleh perkembangan iptek. Dia mengandalkan BJ Habibie.    

Para neokolonialis yang menguasai Indonesia waswas jika Soeharto membawa Indonesia kembali ke masa Soekarno dengan semangat berdikari-nya. Maka dia mulai digerogoti sejak akhir 1980an. Puncak penggulingan Soeharto itu terjadi 1998.  

Apa Hasil Reformasi?

Pasca 1998 kita tidak melihat ada gerakan signifikan yang membawa bangsa Indonesia menuju ke kemandiriannya. Dunia maju senang, merasa aman. Sampai pada 2014 ketika Prabowo yang ultra-nasionalis dan Jokowi yang cenderung pragmatis-nasionalis, head-to-head bertarung. Bagi para neokolonialis, keduanya sama buruknya. Namun mereka harus rela bangsa Indonesia akan memilih salahsatu dari mereka. Katakanlah bagi mereka pilihannya the best among the worst. Lalu Jokowi terpilih.  

Di balik tingkat kepercayaan investor asing di era Jokowi, para neokolonialis mulai waswas dengan sepak terjang Jokowi dan timnya yang menunjukkan gejala menjalankan upaya-upaya kemandirian. Rejim Jokowi dianggap lebih berpihak ke RRT dan beberapa negara Eropa yang bukan “sekutu tradisional” Indonesia selama ini sejak era Soeharto.    

Era Jokowi juga dianggap sebagai rejim yang terlalu bersih, sulit diajak kompromi. Bidang kehutanan dan kelautan adalah contoh konkrit. Sebagai contoh, orang-orang Jokowi seperti Ahok, Susi Pudjiastuti, Ignasius Jonan, Ganjar Pranowo, atau Rismaharini, adalah mereka yang bisa jadi penghalang bagi permainan kotor yang selama ini dipraktikkan para neokolonialis bersama teman-teman bisnis lokalnya di Indonesia.

Jokowi Perlu Disingkirkan?

Namun sayang, Jokowi yang licin telah berhasil merapatkan barisannya dan mampu membuat TNI dan Polri solid berada di belakangnya. Apa boleh buat, tinggal kaum agamawan yang masih bisa diharapkan.

Beruntung bagi para kolonialis, di negeri ini ada Ahok yang mulutnya terlalu cepat ceplas-ceplos tanpa perhitungan politis. Dan dia menjadi sasaran empuk, karena bernasib minoritas ganda. Kemudian terjadilah 411 dan 212.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun