Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Aceh Tidak Cuma Tahu Kawin-Mawin

16 Juli 2019   06:34 Diperbarui: 16 Juli 2019   22:57 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi : aceh.tribunnews.com dan pecihitam.org. Digabung oleh penulis

Meskipun ada yang pro tapi lebih banyak yang kontra terhadap rencana meloloskan undang-undang daerah (Qanun) Poligami di Aceh. Para wanita dan penganut anti poligami dari dalam dan luar negeri ramai-ramai menyoroti rencana kontroversial pemerintah dan dewan perwakilan rakyat Aceh yang berusaha melegalkan UU Poligami dengan alasan dan tujuan mulia dalam Qanun Hukum tentang Keluarga. 

Bagi pendukung, rencana tersebut beralasan mulia. Majelis Ulama pun menyambut positif dan antusias menyikapi maraknya kawin cerai, kawin siri dan dalam rangka menegakkan syariat Islam dalam Qanun Poligami kini sedang digodok berusaha diloloskan. Bagi penentang, rencana tersebut adalah sebuah siasat sangat merendahkan hak wanita.

Salah satu senator DPD RI asal Aceh, H. Fachrul Razi MIP sampai naik pitam menyerang Deni Siregar dianggap tendensius, merendahkan warga Aceh melalui sindiran-sindiran anti poligaminya di Youtube, "seolah-olah orang Aceh cuma tahu kawin-mawin saja," kata Fachrulrazi. 

Jelas Deni tidak paham sehingga Fachrul berang, tuduh balik Deni Siregar tidak paham tentang Aceh yang mengira orang Aceh itu primitif cuma bisa kawin cerai, sebagaimana dilansir oleh aceh.tribunnews.com edisi 15 Juli 2019.

Polemik rencana legalisasi Poligami di Aceh pun kini membara. Padahal fenomena kawin cerai dan poligami di Aceh bukan persoalan baru. Fenomena ini telah ada sejak zaman dahuku kala. 

Tak usah jauh-jauh ke zaman"entah berantah," kita telusuri saja pada masa kerajaan Aceh saja, fenomena beristri lebih dari 1 (karena Poligami dan kawin cerai) telah sangat sering terjadi, bukan sesuatu yang tabu selama sesuai syariat!

Seorang Kompasiener, menuliskan betapa fenemena itu telah terjadi sejak masa kerjaan Aceh dahulu. Sumber :  ezytravel 

Apa yang disebutkan di atas tampaknya benar, faktanya adalah teman, tetangga, saudara dekat dan saudara dekat hingga saudara laki-laki kandung penulis sendiri (3 dari ber 5 laki-laki) pun sudah beristri lebih dari satu. Masing-masing telah beristri 3 hingga 5 orang. Mereka BUKAN berpoligami tapi perceraian yang diakibatkan oleh banyak hal yang tidak dapat disebut satu per satu pada tulisan ini.

Beberapa teman dekat dan tetangga penulis pun banyak yang beristri lebih dari satu orang. Diantaranya ada mencapai empat orang. Ada yang berpoligami dan ada akibat kawin cerai.

Jadi masalah kawin cerai dan berpoligami di Aceh memang BUKAN sesuatu hal yang baru meskipun banyak yang tidak mengharapkannya termasuk penulis sediri. 

Meskipun terjadi pada beberapa keluarga disebut di atas tapi bagi penulis hingga saat ini masuk usia senja merasa sangat bahagia dengan satu istri dan diakarunia dengan 3 anak.

Hebat? Tentu tidak. Dilarang juga tidak. Jadi mengapa ada sorotan tajam dan panas tentang rencan poligami di Aceh ditengah maraknya kasus yang sama dimana-mana? Penyebabnya ada tiga hal utama yaitu :

  1. Meskipun di daerah lain terjadi hal sama (maraknya kawin cerai dan poligami) akan tetapi di daerah lain tidak ada upaya untuk melegalkannya meskipun dengan maksud, tujuan dan alasan sebagus apapun (mulia). Prinsipnya Nikah Yes, Poligami No..!
  2. Penduduk yang mayoritas beragama muslim sangat banyak di Indonesia, bukan hanya Aceh, akan tetapi Pemerintah dan DPRD nya tidak fokus menerbitkan atau berencana menerbitkan aturan seperti itu. Mereka lebih fokus membahas rencana dan aturan lain yang dinilai lebih bermanfaat misalnya meningkatkan tarif Indek Pembangungan Manusia (IPM) daerahnya.
  3. Jumlah penduduk Aceh relatif sedikit dibandingkan dengan beberapa provinsi besar. Oleh karenanya jika dibandingkan jumlah perceraian dengan jumlah pernikahan atau jumlah berpoligami dengan pernikahan maka diperoleh rasio yang ekstrim, angka rasionya jadi tinggi. Kesannya kasus kawin cerai dan poligami Aceh "biangnya." padahal itu cuma rasio.

Mengacu pada poin terakhir (nomor 3) di atas, mari kita telusuri seberapa banyak kelompok usia dewasa (siap dan boleh nikah di Aceh). Jumlah penduduk Aceh menurut sumber penulis rangkum dari sumber lain dan BPS 2017 adalah 5,3 juta jiwa per 1 Juli 2019. Jumlah komposisi populasi Aceh berdasarkan usia adalah sebagai berikut :

total-penduduk-prov-aceh-jul2019-5d2c0eb10d82303d8b7fd8c2.jpg
total-penduduk-prov-aceh-jul2019-5d2c0eb10d82303d8b7fd8c2.jpg
penduduk-aceh-2-5d2c0fc50d82307c556b3d92.jpg
penduduk-aceh-2-5d2c0fc50d82307c556b3d92.jpg
Pada kelompok usia nikah produktif ada diantara usia 20 - 49 tahun (jika ada yang sudah berusia di atas 54 tahun apalagi 64 tahun masih semangat mau berpoligami ini termasuk kelompok usia "gesit.").

Dari data tersebut telihat kelompok usia nikah produktif sebanyak (rata-rata 7,2% x 5 kelompok = 45%) dari total populasi  sebanyak  5,3 juta jiwa berarti sama dengan 2.392.000 orang (laki dan perempuan).  Dari 2,3 juta orang itu ada yang duda, janda, jomblo dan ada yang kawin beberapa kali dan ada yang berpoligami yang TIDAK diketahui prosentasenya beberapa besar jumlah dan rasionya.

Jika berpatokan pada informasi Badan Penasihat Pembinaan dan  Pelestarian Perkawinan (BP4) Aceh, pada 2015 saja terdapat 40 ribuan pasangan menikah. Dari jumlah tersebut akhirnya terjadi perceraian sebesar 13%.  Dengan kata lain 5200 pasangan bercerai. Sumber :  pikiranmerdeka.co. Rasio ini sangat besar bahkan menyamai angka rasio perceraian secara nasional. meskipun secara kuantitatif jauh dibawah jumlah kasus nasional.

Kasus kawin cerai (kawin-mawin) di tempat penulis berdomisili sekarang (diluar Provinsi Aceh) juga luar biasa dahsyatnya. Begitu juga ketika penulis menetap di sejumlah provinsi lain antara 3-4 tahun lamanya di setiap provinsi juga menemukan fenomena yang sama. Akan tetapi yang membedakannya adalah TIDAK ADA upaya pemerintah dan Perwakilan Rakyatnya setempat mengurusi urusan -maaf- remeh temeh sebetulnya.

Alasan untuk kemaslahatan ummat Islam, untuk dijauhkan dari bala dan bencana, untuk menghindari fitnah, untuk tidak terjadi kawin siri, untuk tidak berdosa dan untuk melaksanakan ajaran Islam sesuai syariat, tampaknya pemerintah dan anggota dewan di daerah lain yang juga didominasi kaum Muslimin dan Muslimah masih lebih fokus pada persoalan lain, peningkatan IPM dan kualitas SDM misalnya.

Kompasianer, Leya Cattleya, sangat santun tapi "setajam silet" merespon sebuah artikel pringadiasurya. Leya Catelia menyoroti sisi "Keadilan" yang tersimpan dalam rasa. Dalam Poligami "rasa" itu sangat semu sekali. Berikut kutipannya :

Ijin poligami sarat dengan preferensi kebutuhan laki laki. Sekalipun diayur dan diniatkan untuk melindungi perempuan, prakteknya akan sangat kompleks. Perspektif dan pandangan perempuan kurang jadi peryimbangan. Satu hal dari pernikahan, yaitu soal "rasa" tak mungkin bisa diatur, sementara banyak aspek keadilan ada di "rasa" itu. Apa artinya bicara cinta ketika itu di mulut saja.  

Dengan banyaknya pertimbangan dan masukan semoga dapat memberi "inspirasi" pada pemda Aceh, perwakilan rakyat serta sekelompok orang yang sedang berpreferensi pada terbitnya Qanun tersebut. Apalagi jika mengacu pada pernyataan keras Fachrul di atas bahwa "orang Aceh bukan cuma tahu kawin mawin" maka sepantasnya meninjau kembali rencana tersebut.

Masih banyak sisi bermasalahat dan bermanfaat lainnya yang dapat dilakukan untuk rakyat Aceh termasuk skala prioritas mengurangi jumlah orang miskin yang kini justru semakin meningkat.

Di sisi lain lebih banyak rakyat Aceh yang merasa bahagia dan berjuang sekuat tenaga mempertahankan prinsip monogami hingga ajal yang mampu "memisahkan" salah satu diantara mereka. Bukan perceraian, bukan pula poligami apalagi poliandri.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun