Kami menuntut akuntabilitas tidak hanya dari pengelola Ponpes, tetapi juga dari pemerintah daerah dan pusat. Kritik Bupati Sidoarjo terhadap kebiasaan Ponpes mendahulukan pembangunan daripada perizinan adalah benar, tetapi ini juga menunjukkan kelemahan serius dalam penegakan hukum lokal yang membiarkan konstruksi ilegal berjalan selama 9-10 bulan tanpa tindakan penertiban. Bahkan respons Kementerian Agama (Kemenag) yang meminta masyarakat untuk tetap percaya pada pesantren setelah insiden itu pun terasa sangat kurang berempati dan mengabaikan tuntutan akuntabilitas.
Inilah tuntutan kami:
Sanksi Pidana Tegas: Kepolisian harus mengusut tuntas aspek kelalaian pidana (Pasal 359/360 KUHP) yang menargetkan penanggung jawab konstruksi, mandor, atau kontraktor yang tidak bersertifikat.
Integrasi Pengawasan Subsid:Kemenag dan Kementerian PUPR harus segera membuat Memorandum Bersama. Negara wajib memfasilitasi kepatuhan dengan memberikan jasa konsultasi dan audit keselamatan teknis yang disubsidi bagi Ponpes yang ingin membangun.
Penegakan SLF Universal: Setiap bangunan asrama dan musala wajib memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang diperbarui berkala, memastikan struktur aman sebelum digunakan.
Tragedi Al Khoziny bukan hanya duka bagi Sidoarjo, tetapi juga alarm bagi seluruh fasilitas keagamaan dan pendidikan swasta di Tanah Air. Kita tidak bisa membangun masa depan bangsa di atas fondasi yang rapuh secara teknis dan legal.
Saatnya mengganti narasi takdir dengan mandat akuntabilitas. Keselamatan santri adalah prioritas non-negosiasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI