Mohon tunggu...
AARON DAVID
AARON DAVID Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Meningkatnya Utang Luar Negeri Indonesia: Bagaimana Kita Menyikapinya?

29 Desember 2021   21:45 Diperbarui: 31 Desember 2021   12:15 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ekonomi Politik merupakan sebuah studi yang mempelajari mengenai dua bidang ilmu dalam kehidupan, yakni Ilmu Ekonomi dengan Ilmu Politik, dimana kedua bidang tersebut meski berbeda tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan kita (Salabi, 2019). Salah satu konsep dalam ekonomi politik sendiri adalah utang luar negeri, suatu konsep yang juga menjadi fenomena yang menarik untuk dibahas di era modern saat ini mengingat isu ‘utang luar negeri’ ini masih tergolong isu yang kontroversial dan menuai beragam respon di Indonesia. Banyak ahli ekonomi, terutama mereka yang bekerja di sektor pemerintahan kerap mendukung dan memaklumi fenomena dimana utang luar negeri Indonesia terus meningkat, namun tidak kalah sedikit pula kelompok-kelompok yang mengkritik arah pemerintah yang dirasa ‘menyepelekan’ utang yang terus meningkat ini. Lantas bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Apakah fenomena yang terjadi di Indonesia pada era modern ini dimana utang luar negeri kita semakin membengkak merupakan hal yang harus dicemaskan, atau sebaliknya? Juga yang tidak kalah penting adalah bahwa setiap fenomena yang terjadi pasti mengandung permasalahan, sehingga bagaimana kita meminimalisir terjadinya dampak yang buruk sekaligus memanfaatkan sisi positif dari fenomena tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, alangkah lebih baiknya jika kita memahami konsep utang luar negeri itu sendiri terlebih dahulu. Utang luar negeri merupakan sebagian dari keseluruhan utang yang dimiliki suatu negara yang didapat dari kreditor yang berasal dari luar negara. Tentu penerimanya termasuk pihak-pihak dalam negeri seperti pemerintah, perusahaan, hingga individu tertentu. Utang luar negeri ini juga dimaknai berbeda berdasarkan aspek, dimana aspek materiil melihat utang luar negeri sebagai arus masuknya sebuah modal dari luar ke dalam negeri yang akan memperkaya jumlah modal keseluruhan negara tersebut. Sementara aspek formal lebih melihat utang luar negeri sebagai ‘dana segar’ yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan investasi guna menggenjot perekonomian (Puspitaningrum, 2018).

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terus meningkatnya jumlah utang luar negeri, diantaranya adalah strategi defisit anggaran, kurangnya analisis mendalam terkait biaya penuh yang harus dibayarkan di masa depan dan kendala yang tidak terduga dalam proses pembayaran yang akhirnya memaksa pemerintah untuk berhutang kembali, dan lain sebagainya (Admin, 2021). Indonesia sejak dulu tidak pernah terlepas dari yang namanya utang luar negeri. Bahkan ketika Belanda baru saja mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, Indonesia berhutang kepada Belanda senilai US$ 1,13 miliar. Sepanjang sejarah Indonesia, besaran utang dan rasionya terhadap PDB mengalami fluktuatif yang sempat memuncak di saat krisis moneter Orde Baru dan melandai saat memasuki Era Reformasi seiring berkembangnya perekonomian Indonesia. Saat ini di tahun 2021, utang pemerintah mencapai 6.418 triliun rupiah dengan rasio 40,49% terhadap PDB dan diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun (Aksara, 2021).

Dari pemaparan terkait konsep utang luar negeri dan relasinya dengan Indonesia, bisa mulai ditemukan perbedaan pandangan dan pendapat. Dari kelompok-kelompok yang pro, terutama mereka yang terafiliasi dengan pemerintah merasa bahwa fenomena utang luar negeri Indonesia yang semakin membengkak bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan. Alasan dasarnya bermula dari kenapa berhutang bagi sebuah negara merupakan hal yang tidak dapat dihindari? Berhutang sudah merupakan salah satu syarat bagi sebuah negara untuk tetap ‘eksis’ dan terhubung di dunia internasional yang semakin dipengaruhi oleh globalisasi. Bahkan jika kita melihat negara-negara besar yang mendominasi perekonomian global seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan lain sebagainya, mereka juga memiliki jumlah utang terbesar pula di dunia. Lantas bagaimana mereka tetap mempertahankan dominasinya di ranah global? Jawabannya sederhana, yakni cara mereka mengelola utang yang sudah maju dan ditambah aset-aset yang dimiliki, yang membuat mereka tetap ‘bertahan hidup’ dan bahkan memimpin perekonomian global. Indonesia sendiri saat ini termasuk negara yang memimpin perekonomian global dengan peringkat 20 besar, maka tidak heran jika tingkat utang luar negeri Indonesia juga besar.

Selain itu, Indonesia layaknya negara-negara lain biasanya berhutang untuk menutupi defisit dan mendanai belanja nasional melalui tambahan dana ke APBN. Kemenkeu mengutarakan bahwa utang yang ada merupakan konsekuensi dari belanja negara yang melebihi pendapatan negara. Namun, utang tersebut dirasa bukan masalah sebab belanja yang dilakukan pemerintah bersifat produktif dan konstruktif seperti membangun infrastruktur yang hasilnya akan membawa manfaat yang lebih besar dari nilai utang yang digunakan untuk membangun infrastruktur tersebut, tentu dengan waktu yang berjangka cukup panjang. Kemenkeu juga memaparkan bahwa sampai kapanpun Indonesia tidak akan pernah lepas dari utang dan itu bukan masalah sebab utang dapat digunakan untuk mencegah opportunity loss yang berarti menambal kekurangan dana pada belanja negara yang tidak bisa ditunda seperti pembangunan fasilitas kesehatan saat pandemi ini (Anwar, 2021). Selain itu, utang juga digunakan untuk memberikan warisan aset yang berarti ketika utang kebanyakan dialokasikan untuk mendanai belanja negara yang produktif maka utang dapat diartikan sebagai investasi pula yang akan memberikan manfaat bagi generasi yang akan datang. Yang ketiga, utang juga digunakan sebagai sarana untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi yang berarti utang yang digunakan untuk mendanai infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan yang menjadi fokus pemerintah akan menggerakan roda perekonomian ketika infrastruktur tersebut selesai dibangun. Yang keempat dan yang terpenting, utang bisa menjadi sarana untuk mengembangkan pasar keuangan, yang berarti instrumen utang Pemerintah yang dikomersialkan di pasar keuangan dapat dijadikan tumpuan bagi industri keuangan.

Bagi pemerintah dan para ekonom yang tidak cemas terhadap fenomena utang yang semakin meningkat, mereka tentu mengambil sikap bukan tanpa alasan, beberapa alasannya adalah rasio utang Indonesia terhadap PDB yang masih dalam tingkat aman dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Indonesia terhadap PDB maksimal mencapai 60% sementara utang kita berada di angka 40% an. Selain itu, utang yang diterima pemerintah Indonesia seringkali dialokasikan untuk hal-hal yang pada akhirnya memberikan keuntungan yang lebih besar seperti infrastruktur yang menjadi fokus utama pemerintah saat ini karena dirasa mampu meningkatkan daya saing, menggerakkan semangat berwirausaha dan roda perekonomian pada masyarakat setempat, menurunkan biaya logistik, dan lain-lain. Alasan lainnya adalah aset pemerintah yang terus berkembang dan juga memiliki kekuatan yang cukup signifikan. Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan kerap menjelaskan bahwa kondisi utang negara juga diimbangi dengan pertumbuhan aset yang signifikan sehingga Indonesia akan tetap mampu membayar utangnya tepat waktu (Azzura, 2019). Sebagaimana yang kita pahami bersama, sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki pemahaman ekonomi dan politik yang rendah, ditambah tingkat literasi dan pendidikan yang masih kurang optimal membuat masyarakat cenderung menilai sebuah isu dari satu sisi yang biasanya sisi negatifnya saja. Masyarakat kerap termakan judul-judul berita yang menyuarakan bahwa utang pemerintah telah mencapai angka sekian tanpa memahami apa yang dihasilkan dari utang tersebut. Selain itu masyarakat juga masih sedikit sekali yang mengenal badan-badan keuangan negara sehingga informasi keseluruhan yang akuntabel belum mampu tersalurkan dengan baik.

Pandangan dan argumentasi kaum optimis atau pro terhadap fenomena peningkatan utang luar negeri Indonesia ini dapat didukung dan diperkuat melalui fakta empiris. Salah satu faktanya adalah ketika Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM demi mengurangi subsidi BBM. Dimana dana tersebut akan dialokasikan kepada sektor-sektor produktif yang sebelumnya mengalami kekurangan dana sehingga tidak bisa berkembang secara optimal. Kebijakan ini lantas dianggap berhasil yang ditandai oleh mulai dilanjutkannya bahkan hampir diselesaikannya pembangunan Tol Becakayu yang sempat terhenti pada tahun 1996. Proyek infrastruktur yang tergantung lainnya seperti Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi juga berhasil dilanjutkan. Pada lima tahun pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terdapat paling sedikitnya 81 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berhasil diselesaikan (Audriene, 2019). Pendanaan infrastruktur tersebut juga sebagian besar berasal dari utang luar negeri. Pengalokasian utang tersebut dinilai cukup efektif karena dapat dikatakan utang digunakan sebagai modal investasi pada infrastruktur negara. Proyek-proyek tersebut juga memberi manfaat dan pendapatan bagi perekonomian negara, salah satunya meningkatkan pendapatan BUMN PT Semen Indonesia Tbk. Pendapatan BUMN tersebut tercatat sebesar 26,98 triliun pada 2016 dan bertumbuh menjadi 30,68 triliun pada 2018. Hal tersebut menjadi salah satu bukti faktual dimana negara mampu membayar utang-utangnya dikarenakan pengalokasian dan pengelolaan yang ditempuh berjalan dengan tepat, dimana pengembalian utang tersebut bisa bersumber dari pajak hingga pendapatan negara yang meningkat akibat pertumbuhan aset.

Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa fenomena utang luar negeri yang semakin menggunung di Indonesia ini tetap mengundang kritik dan pertentangan dari berbagai pihak. Salah satu kritiknya ditujukan pada sistem birokrasi dan budaya politik Indonesia yang masih terbilang buruk. Para kritikus ini mengangkat fenomena dimana Tiongkok kerap memberikan pinjaman lunak ke negara-negara berkembang, khususnya negara yang memiliki indeks demokrasi rendah atau bahkan negara-negara otoritarian. Negara-negara tersebut pada dasarnya mengalami kesusahan ketika mereka ingin meminjam dana ke organisasi keuangan internasioanl seperti IMF dan World Bank, maka disini pinjaman lunak dari Tiongkok menjadi alternatif utama. Sebenarnya pinjaman lunak Tiongkok tersebut adalah jebakan sebab pemerintah Tiongkok yakin dengan kualitas SDM negara-negara tersebut yang tergolong rendah, mereka akan gagal membayar hutangnya yang membuat mereka harus berhadapan dengan konsekuensi yang tinggi (sebagaimana yang diharapkan pemerintah Tiongkok). Beberapa negara di dunia telah menjadi korban fenomena ini, diantaranya Zimbabwe yang terpaksa mengubah mata uangnya menjadi Yuan akibat kegagalan mereka dalam membayar hutang (Richard, 2018). Negara-negara lain seperti Nigeria, Sri Lanka, dan Pakistan terpaksa merelakan infrastruktur yang dibangun menggunakan pinjaman lunak dari Tiongkok kepada pemerintah Tiongkok akibat gagal membayar hutang. Berbagai infrastruktur seperti bandara dan pelabuhan terpaksa disita Tiongkok yang justru membuat negara-negara tersebut semakin merugi. Dari ilustrasi tersebut, ditambah berkaca dengan kondisi politik dan birokrasi Indonesia, para kritikus khawatir hal yang serupa dapat menimpa Indonesia. Meski digunakan untuk sektor produktif, jumlah utang luar negeri yang melonjak beberapa tahun terakhir ditakutkan membuat pemerintah kehilangan kendali apabila Indonesia terkena kejadian yang tidak terduga yang membuat rencana pengelolaan utang luar negeri tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Selain hal tersebut, banyak kelompok yang juga menentang pembiayaan infrastuktur secara massif menggunakan utang luar negeri dikarenakan banyak proyek selama ini sering mengalami kendala bahkan tidak mencapai output yang diharapkan. Hal ini menandakan masih kurangnya analisis, kajian, dan persiapan yang dilakukan. Berbagai proyek yang justru mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam mengelola utang ditunjukkan melalui pembangunan LRT Palembang yang kini sepi pengunjung dikarenakan belum terintegrasi dengan moda transportasi lain. Proyek lain seperti pembangunan LRT Velodrome yang terlalu pendek jaraknya membuatnya tidak diminati pengunjung, lalu ada Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang ternyata mengalami pembengkakan dana dan terkendala izin amdal. Pembangunan bandara yang sangat ditonjolkan pemerintah juga banyak yang justru mengecewakan seperti Bandara Kertajati di Majalengka Jawa Barat yang sangat sepi penumpang yang disebabkan oleh belum tersedianya akses yang praktis dari dan ke bandara tersebut, selain itu aspek geografis juga tidak diperhitungkan dimana bandara tersebut jauh dari kota-kota besar. Faktor-faktor tersebut juga membuat banyak bandara yang didanai utang luar negeri tidak menghasilkan pendapatan yang optimal, diantaranya seperti New Yogyakarta International Airport dan Bandara Jenderal Soedirman di Purbalingga (Maesaroh, 2021). Ketidaksinkronan analisis dan kajian dalam pembangunan infrastruktur juga menjadi fokus permasalahan, contohnya kebanyakan masyarakat Jawa memilih menggunakan jalan Tol Trans Jawa untuk bermobilisasi ketimbang menggunakan pesawat karena harga yang jauh lebih murah dan tidak memakan waktu yang lama pula.

Para kaum kontra memang mengakui sebagian bahwa mungkin saja pemerintah telah menyiapkan banyak rencana cadangan untuk membayar hutang luar negeri. Sehingga meskipun pemerintah pada akhirnya mampu membayar utang luar negerinya, akan ada kompensasi mahal yang harus diderita masyarakat. Kompensasi tersebut dapat berupa tidak naiknya atau bahkan turunnya anggaran gaji PNS, menyusutnya dukungan dana dari pemerintah pusat ke daerah-daerah, hingga dikorbankannya belanja sosial negara (Newswire, 2021). Tentunya hal tersebut sangat merugikan masyarakat. Faktor yang menyebabkan hancurnya rencana pengelolaan utang negara yang diggarisbawahi para kritikus adalah korupsi dan sistem birokrasi. Fenomena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang seringkali dilakukan para pejabat Indonesia semakin marak terjadi belakangan ini yang turut merugikan negara hingga triliunan rupiah. Para kelompok kontra mempertanyakan kelancaran pengelolaan utang yang dibanggakan pemerintah ketika pemerintah sering tersangkut kasus korupsi.

Pada kesimpulannya, fenomena menimbunnya utang luar negeri Indonesia memiliki respon positif seperti mereka yang menganggap utang luar negeri akan membantu menambal defisit anggaran negara. Utang juga dapat digunakan untuk menggenjot perekonomian Indonesia. Namun, terdapat juga respon kritis yang meragukan kemampuan pengelolaan utang oleh pemerintah yang dikhawatirkan mampu menyebabkan inflasi, membebankan APBN, dan rawan diintervensi pihak asing. Namun intinya, bagaimana kita menanggulangi permasalahan yang ada dan meminimalisir risiko terbentuknya isu-isu lainnya di masa depan sekaligus mengoptimalkan kekuatan yang kita miliki dan memperbaiki kekurangan yang ada. Menjawab kecemasan kelompok kontra terkait kegagalan pengimplementasian infrastruktur, pemerintah Indonesia mulai saat ini harus melakukan reformasi kebijakan yang meliputi proses perencanaan dan kajian yang menyeluruh, hati-hati dan tidak tergesa-gesa, serta penuh pertimbangan. Terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan ketika pemerintah melakukan investasi infrastruktur guna menjamin tercapainya outcome yang diharapkan, yakni membangun proyek infrastruktur dengan manfaat nyata dan bisa dikalkulasikan, mengdepankan kerja sama dan network effects dari infrastruktur yang dibangun, mengikutsertakan partisipasi masyarakat agar tercapainya manfaat sosial, dan menyediakan opsi pembiayaan infrastruktur untuk jangka panjang (Cipta, 2020). Beberapa opsi juga dapat ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kebijakan utang luar negeri agar jumlah utang luar negeri tetap terkontrol, yakni melakukan pembatasan terhadap pinjaman baru, meningkatkan penerimaan pajak, meningkatkan sinergitas BUMN, dan mengelola utang sebaik mungkin yang mencakup debt swap, diplomasi ekonomi, dan memaksimalkan pengembangan kemampuan dalam negeri sendiri (Sari, 2014). Namun, satu hal sederhana namun sangat penting yang harus dicapai Indonesia untuk mengatasi isu-isu akibat peningkatan utang luar negeri adalah mengubah dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya yang mencakup para politisi, pejabat, hingga masyarakatnya. Karena ketika budaya dan pola pikir masyarakat dan pejabat Indonesia yang sudah maju, maka akan lebih mudah dalam menangani kondisi utang luar negeri ini beserta tantangannya. Bahkan dengan SDM yang optimal, Indonesia dapat menghasilkan inovasi-inovasi untuk menyokong kebutuhan bangsa tanpa berhutang secara massif kepada dunia internasional. Untuk mereformasi kualitas SDM Indonesia, terdapat beberapa poin penting, yakni memperbaiki sistem pendidikan serta mensosialisasikan kepada masyarakat pentingnya pendidikan, selain itu pendidikan anti korupsi dan penekanan atas berbagai budaya positif yang menjadi jati diri bangsa seperti tepo seliro dan gotong royong harus gencar dilakukan. Diharapkan pada masa yang akan datang, Indonesia akan memiliki masyarakat dan pemerintah yang maju, patriotik, bangga terhadap jati diri bangsa, mampu berpikir kreatif, inovatif, dan berwawasan luas sehingga mampu bersaing dengan masyarakat global lainnya di era globalisasi ini. Hal ini memang tidak mudah dicapai namun harus diupayakan dengan maksimal karena outcome yang dihasilkan sangat bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun