Di kampung saya, kalau ada yang pulang haji, tandanya gampang: peci putih, baju putih, kerudung putih.Â
Kadang dipakai sampai empat puluh hari. Bukan karena memang ada sunnahnya, tapi karena... ya biar orang tahu: "Saya sudah haji."
Ada juga yang namanya langsung berubah.Â
Dulunya Pak Ahmad, pulang dari Tanah Suci jadi Haji Ahmad. Kalau enggak dipanggil pakai "Haji," kadang ogah noleh. Lebih galak daripada petugas imigrasi.
Padahal, haji itu ibadah, bukan gelar kehormatan.
Keikhlasan yang Tak Bisa Dipajang
Seorang ulama, Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata, "Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat  daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik."
Karena niat itu licin. Datangnya murni, tapi pulangnya bisa keruh.
Dia bisa berubah hanya karena satu pujian, satu komentar, atau satu foto yang dapat banyak like.
Di negeri ini, kadang yang berangkat haji lebih sibuk membuat walimahan daripada menyiapkan ruhani.
Dana resepsi hampir sama dengan ongkos haji. Tamu ribuan, doa berjamaah, sound system-nya bisa bikin konser.
Yang penting semua tetangga tahu.
Ibadah haji itu berat. Biayanya besar. Fisiknya capek. Mentalnya diguncang.
Tapi bukan berarti otomatis diterima. Bahkan ada yang sudah thawaf, sai, jumroh, mabit, tapi tak dapat apa-apa.
Seperti orang yang menanam benih, tapi tidak menyiram. Atau menyiram dengan air kotor.
Tumbuh sih, tapi tak layak dipanen.
Allah mengingatkan dalam Al-Furqan, "Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan." (QS. Al-Furqan: 23)