Pak Menteri Pendidikan, Anis Baswedan, telah memutuskan untuk menunda kurikulum 2013. Atau dengan kata lain, hanya sekolah-sekolah yang siap saja yang dapat menerapkan kurikulum 2013. Kabar ini memang udah basi. Sekalipun begitu, cara sekolah menyikapinya dengan berbeda-beda. Menyikapi hal tersebut, minimalnya ada tiga kelompok guru. Pertama, yang memutuskan kembali ke kurikum KTSP (Kurikum Tingkat Satuan Pembelajaran). Kedua, yang tetap di kurikulum 2013. Ketiga, yang bingung.
Pilihan sekolah yang beragam akan membuat gamang para praktisi yang biasa memfasilitasi pembinaan terhadap para guru di sekolah dasar maupun sekolah menengah, di masa transisi ini. Hal itu terjadi karena belum ada arahan yang jelas bagaimana fasilitator memberikan pembinaan manakala saat pembinaan, pada ruangan atau tempat tersebut terdapat tiga kelompok guru yang disebutkan di atas.
Adalah baik bila pemerintah mengumpulkan perwakilan dari LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Keguruan) dengan memberikan arahan-arahan bagaimana menyikapi dan mengarahkan kondisi seperti ini. Memang betul bahwa ada wilayah pembinaan yang bebas dari kurikulum, tetapi hal tersebut menjadi kontra peroduktif bila tidak dikaitkan dengan rumah besarnya yaitu kurikulum. Sebagai contoh, fasiltator diminta menjelaskan PBL (Problem-Based Learning) maka fasilitator akan dihadapkan untuk memfasilitasi guru dalam persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi dari PBL. Sementara itu, proses dari itu semua tidak lepas bagaimana cara guru mendisain persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi pada kurikulum yang sedang berlaku.
Masalah ini tentu perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Kalau tidak, bukan saja guru yang jadi korban tetapi siswa. Akibat dari itu, harapan Indonesia menjadi hebat atau unggul tinggal harapan saja, minimal pada masa transisi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H