Mohon tunggu...
Wahyu Jati Anggoro
Wahyu Jati Anggoro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

insanis loquens ad universum | aangdjemba.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebab Sebenarnya Mengapa Dawai Biola Itu Putus

12 Juli 2014   11:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:34 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://talkingheelspodcast.com/wp-content/uploads/2013/08/goffriller-violin-black-and-white-sam-hymas.jpg

Bapak dulu pernah berpesan padaku, kalau Jakarta itu miniaturnya Indonesia. Semua orang dari Merauke sampai Sabang tumpah ruah menyemut gula-gula disini. Di gerbong kereta commuter line ini sungguh aku jumpai perwakilan dari masing-masing daerah. Sebagai orang kampung yang belum lama tinggal di Ibukota, aku sungguh mempelajari banyak hal dari wajah para penumpang kereta. Di Jakarta, aku amati orang-orang terlihat lebih dewasa dari umur sebenarnya. Anak SD seperti anak SMP. Anak SMP seperti anak SMA. Anak SMA seperti anak kuliahan. Anak kuliahan seperti keluarga muda. Mungkin memang asupan makanan yang serba instan dan ritme Jakarta yang serba cepat patut dikambinghitamkan. Sewaktu aku kecil dulu, sebelum tidur, bapak juga sering mendongeng epos Mahabarata. Bapak yang seorang tukang kayu, sungguh mahir betul bercerita, sudah seperti dalang. Aku suka sekali lakon Gatotkaca. Aku masih ingat betul, bapak menggambarkan kesaktian Gatotkaca yang ia dapat setelah berendam di kawah Candradimuka. Konon, Tetuko, nama kecil Gatotkaca, berendam di kawah candradimuka lalu saat ia terbang keluar, ia telah berubah menjadi lelaki dewasa. Barangkali seperti itulah Jakarta, seperti kawah Candradimuka. Saat aku pulang kampung, kata tetangga, aku selalu tampak dua kali lebih tua. Lamunan aku berakhir saat kereta berhenti di stasiun Kota, stasiun kereta paling ujung di Jakarta. Hari ini hari Sabtu, aku ada janji dengan seorang kawan yang baru-baru ini ku kenal. Perjumpaan kami yang pertama terjadi beberapa minggu yang lalu. Aku tak sengaja mendengar gesekan dawai biolanya di Taman Suropati. Ah, aku sudah melihatnya melambaikan tangan dari kejauhan, di dekat museum Fatahillah. Kawan baruku itu terlihat cantik dari kejauhan, mudah sekali mengenalinya. Senyum oriental dan kulit putihnya seperti mutiara di tengah hiruk-pikuk pelancong di kawasan Kota Tua. Ditambah pakaian yang dikenakannya, rok panjang dengan baju ala-ala wanita tujuh puluhan, dengan topi rajut bundar menutup sebagian rambut hitamnya yang dikuncir kuda. Vintage. Rasa-rasanya aku seperti berjalan diatas awan, semakin ku mendekat padanya semakin lunak saja tempatku berpijak ini. Tapi aku harus profesional! Sebagai video maker amatiran aku harus tetap profesional pada pekerjaan! Karena hari ini aku berjanji untuk merekam permainan biola kawan aku itu, semacam music video amatiran, dan lalu mengunggah hasilnya di Youtube. *** Ayahku seorang pemain biola, anggota grup musik keroncong yang berisi teman-teman sebayanya. Ayahku adalah seorang musisi jalanan, begitu yang sering ia utarakan. Atau seorang pengamen berbakat besar, begitu yang sering tetangga kami katakan. Sehari-hari, ayahku mencari rejeki dari nada-nada, dari getar-getar dawai biolanya. Diakhir pekan, Ayah selalu manggung bersama teman-seman sejawatnya. Mereka menamakan grup keroncong itu: Orkes Seberang Lautan. Kata Ayah, nama itu diambil untuk menghormati para leluhur kami, yang bermigrasi dari seberang lautan sana, tanah Tiongkok. Dulu sewaktu kecil, aku sering diajak Ayah kepertunjukkannya, di salah satu sudut Kota Tua, tak berapa jauh dari rumah kami. Ayah selalu memboncengku kesana, ke gedung tua tempat konser keroncongnya, dengan sepeda tuanya. Biasanya sebelum berangkat, ayah selalu membakar dua batang hio dan berdoa, didepan foto ibu. Ayah dan ibu bertemu karena biola. Di saat tidak mengamen, ayah mengajarkan bermain biola padaku. Ayah berulang kali berpesan, bahwa Jakarta ini kota yang tak pernah tidur, saking tak tidurnya sampai-sampai kau takkan sadar sudah dibuat tua olehnya. Waktu akan terasa sedemikian cepat, karena orang-orang semuanya bergerak cepat. Hanya seni obat penangkalnya, begitu ayah bilang. Bayangkan bila orang-oarang berhenti sejenak, menikmati seni, mengapresiasinya walau sebentar. Mengajak jam tubuhnya beristirahat sejenak, menikmati keindahan, menikmati seni. Bayangkan orang-orang menikmati nada-nada yang mengalun mendayu dari gesekan dawai-dawai biola. Bayangkan nada-nada itu masuk melalui telingamu, merasuk dan menyebar melalui pembuluh darahmu ke kepalamu, ke dadamu, ke hatimu. Membawa suara ketenangan. Kata Ayah, barangkali kalau setiap orang Jakarta mengapresiasi seni sebentar saja setiap harinya, mereka tidak akan cepat terlihat tua. Seni adalah obat manjur awet muda. *** Dawai biolanya terputus. Sesaat setelah aku mulai mengambil gambar untuk simfoni keduanya. Apa hendak dikata, kami hanya menyelesaikan satu lagu saja. “Enggak papa, satu aja udah cukup kok. Thanks banget ya, udah mau repaot-repot bikinin MV segala. Hahaa..” “Iya, sama-sama, namanya juga proyek iseng-iseng. Siapa tau kamu ntar jadi terkenal di Youtube. Permainan biola kamu kan extraordinary, ada soulnya gitu.” “Ah biasa aja kali… mungkin karena pake biola warisan Ayah, jadi lebih deket, ada ikatan emosionalnya gitu.” “Wah, udah jelas itu. Your dad taught you well! Tapi beneran lho, dengerin kamu main biola, bisa menenangkan diri, escaping dari karut marut Jakarta. Kerja kantoran emang sucks. Hahaha…” “Makanya, banting setir aja, jadi seniman. Kayak aku. Kerjaannya cuma gesek biola, ngak-ngik-ngok, eh dapet duit.” “Lah, maunya sih gitu, kerja sesuai passion. Kamu enak, hobi equals kerjaan, jadi pemain biola orkestra kenamaan pula.” “So?” “What?” “Resign. Jadi, jadi video maker, jadi sutradara, nulis fiksi, bikin film. Jadi seniman!” “Hahahaa.. gila! Baru kerja kantoran setahunan. Ntar deh kalo cicilan rumah dah lunas.” “Nunggu cicilan lunas? Yaelah… keburu ubanan tuh, stress kerja kantoran berkepanjangan. Tuh garis-garis penuaan udah mulai nampak. Kudu segera mengonsumsi ekstrak kulit manggis!” Dan kami pun tertawa. Memakan punchline yang sudah mulai garing dan menyebalkan itu. “Jakarta emang bikin orang cepet tua ya? Andaikata semua orang jakarta bisa tenang menikmati seni sejenak, pasti bisa mengurangi penuaan, istirahat sebentar dari ritme yang serba cepat. Huft.” “Hahaa.. semua pendatang pasti bilang kayak gitu. Emm.. Jadi inget pesan ayah dulu.” “Apa pesannya?” “Hei, wanna stay young?” Ia menoleh riang kearahku, balas mengajukan pertanyaan. Aku tak mampu berkata-kata, dan hanya bisa menganggukkan kepala saja. Lalu ia menarik lenganku dan mengajakku berkeliling Kota Tua. Kami berlari-lari kecil, mengomentari apa saja yang bisa dikomentari. Jalanan, orang-orang, apa saja yang membuat mulut kami gatal. Sesaat, kami berdua seperti anak-anak lagi. *** “Pah, anak kita udah mulai pandai ya main biolanya?” “Iya, berbakat banget anak lanang kita. Kayak ibunya. Tuh sampe dikerubungi temen-temennya. Udah macam artis aja.” “Wiiih… jelas lah itu!” “Padahal cita-cita anak kita kan jadi Gatotkaca. Mana ada Gatotkaca mainan biola…” “Huuu… Dasar!” Tiba-tiba, anak kami berhenti bermain. Ia berlari kearah istriku, sembari mengadu bahwa dawai biolanya terputus. Istriku menenangkannya, berjanji akan memperbaiki, dan menyuruhnya agar bermain dengan teman-teman SD-nya yang lain. Piknik SD akhir pekan di kawasan Kebun Raya Bogor ini memang selalu didambakan oleh anak-anak ibukota yang rindu hijaunya pepohonan. “Emm… Pah, kayaknya anak kita barusan ketemu jodohnya deh…” “He? Jodoh apa? Anak kita belum genap sepuluh tahun, Ma. Ada-ada aja…” “Soalnya dawai biola nomer dua yang putus.” “Eh?” “Inget nggak Pah, pas dulu kita bikin MV di Kota Tua. Dawai biolaku juga putus, dawai biola nomer dua. Emm… Dulu ayah pernah bercerita, cerita gimana ayah ketemu ibu. Waktu itu, ibu menontonnya bermain biola. Tiba-tiba permainan biola ayah terhenti, karena dawai biolanya nomer dua putus.” Yogyakarta, 12 Juli 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun