Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekonsiliasi 65 Koma

28 Februari 2015   03:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:23 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14250422011369151649

[caption id="attachment_353264" align="aligncenter" width="300" caption="sumber www.dartblog.com"][/caption]

MUNGKIN tidak banyak yang menyadari tanggal 24 Februari lalu merupakan hari bersejarah bagi proses rekonsiliasi Peristiwa 65. Pada tanggal tersebut, tepatnya 11 tahun lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Ketentuan tersebut berbunyi "(Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat:) [g] bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massa, atau bukan bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S PKI atau organisasi terlarang lainnya".

Putusan MK ini tak pelak membuka borgol diskriminasi politik yang selama ini mengikat para Tertuduh-PKI secara ekstrayudisial. Sebelumnya, pascatumbangnya Soeharto, satu per satu pewarisan diskriminasi dan stigma terhadap mereka mulai dilucuti. Presiden Habibie menginisiasi penghentian pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI. Film besutan Arifin C Noer yang melibatkan 120 tokoh dan 10 ribu figuran ini menjadi ritus-wajib-putar secara nasional sejak 1984. Habibie juga membebaskan puluhan tahanan politik termasuk yang terlibat Peristiwa G30S.

Pemutusan belenggu hitam pada Tertuduh-PKI diteruskan - bahkan lebih progresif - oleh penggantinya, Presiden Abdurrahman Wahid. Cucu pendiri organisasi massa terbesar di Indonesia ini menemui ratusan Tertuduh PKI yang di hidup di luar negeri karena tidak bisa balik ke Indonesia. Gus Dur meminta mereka pulang dan menawarkan kewarganegaraan bagi mereka yang berkehendak. Dia tidak hanya meminta maaf pada para Korban 65 namun juga membubarkan Bakorstanas; sebuah lembaga peninggalan Soeharto yang berfungsi mengendus seseorang apakah ia suci dari najis PKI atau tidak.

Menurut Marsilam Simanjuntak alasan presiden membubarkan lembaga tersebut cukup sederhana, yakni dalam rangka membangun sebuah asumsi yang baik pada setiap orang. Bagi Presiden Gus Dur, setiap orang harus dinyatakan tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah, dan bahwa tak satu pun dinyatakan sebagai ancaman sebelum hal tersebut muncul dan dideteksi oleh lembaga intelejen negara (Kompas, 9 Maret 2000). Gus Dur mungkin satu-satunya presiden yang tidak melihat komunisme sebagai ancaman. Saat Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, meyakinkan Gus Dur bahwa kepulangan AM. Hanafi -mantan Dubes RI di Kuba-tidak perlu dikuatirkan karena Hanafi lebih merupakan Soekarnois ketimbang komunis, Gus Dur menyahut “ Biarkanlah ia pulang ke negeri ini, bahkan jika ia seorang komunis sekalipun" (Forum Keadilan, 5/12/1999).

Ijtihad final Gus Dur menyudahi penderitaan Tertuduh-PKI diwujudkan melalui upayanya menutup sumber dari segala sumber diskriminasi terhadap PKI, yakni Tap MPRS XXV/1966 – tentang pembubaran dan pelarangan PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dengan berani, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Tap MPRS tersebut sesungguhnya dibuat oleh "seseorang yang tengah berendam dalam nafsu, dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri" (Kompas, 1 April 2000).Menurutnya, demi rekonsiliasi nasional ketentuan ini harus dicabut karena PKI telah dihukum selama bertahun-tahun. Dia mengunci sikapnya dengan melontarkan pertanyaan retoris ke publik, "Apakah kita masih harus menghukum mereka (Tertuduh-PKI)?" (Detik.com 27 Januari 2000). Konsistensinya memperjuangkan keadilan bagi Korban 65 memicu eskalasi politik yang mendorong terjadinya pelengseran dirinya dari kursi kepresidenan.

Sayangnya, langkah progresif Habibie dan Wahid tidak dilanjutkan oleh penerusnya. Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono tampak tidak punya cukup nyali menghentikan pelanggengan wacana anti-komunis. Keduanya bahkan tidak menggubris pertimbangan Mahkamah Agung - melalui surat MA bernomor: KMA/403/VI/2003- agar presiden memberikan rehabilitasi terhadap Korban 65. Mereka berdua juga lebih memilih membiarkan Keppres diskriminatif - Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C – sampai para Korban 65 melakukan gugatan sendiri ke Mahkamah Agung, dan akhinya menang.

Putusan MK menyangkut hak politik Tertuduh-PKI merupakan sebuah terobosan konstitusional. Kini secara normatif para Tertuduh-PKI dan keluarganya bisa hidup 'sejajar' dengan masyarakat lainnya. Mereka punya hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik apapun. KTP mereka sudah tidak lagi “dinodai” dua huruf; ET. Jika rekonsiliasi dimaknai kesejajaran hak sebagaimana yang saya sebut di atas maka mereka telah mendapatkan hal tersebut. Tentu saja dengan mengecualikan hak mendirikan (kembali) PKI dan/atau menyebarkan ajaran-ajaran komunisme/leninisme.

Kondisi seperti ini perlu diapresisi positif dengan catatan; bahwa hal tersebut masih koma, belum titik. Menurut KH. Salahudin Wahid (2004) masalah utama peristiwa G30S adalah pembunuhan - yang dilakukan tanpa melalui proses hukum - dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan onder-bouwnya, Tidak hanya itu, deretan praktek kekerasan yang disponsori negara mengemuka sebagaimana temuan TimAdHocPenyelidikanPelanggaranHAM yangBeratPeristiwa1965-1966 bentukan Komnas HAM tahun 2012. Kekejian tersebut masih teronggok, tak tersentuh hukum. Problem ini semakin jatuh terperosok manakala tumpukan stigma atas PKI terus dijejalkan ke dalam memori kolektif publik. Setiap upaya mengemukakan wacana tanding atas versi resmi Peristiwa 1965 milik pemerintah kerap menemui jalan terjal pelarangan.

Dua bulan terakhir ini saya bertemu dua orang kiai terpandang; dari wilayah Mataraman, dan Pandalungan (Tapalkuda). Dengan mempertimbangkan reputasinya yang cukup moderat, saya agak terhenyak mendengar pandangan Kiai Mataraman terkait Tap MPRS XXV/1966 ini. Baginya, regulasi ini tidak perlu dicabut karena dua hal. Pertama, meski penyebaran ajaran Komunisme/Leninisme dibelenggu oleh Tap MPRS ini namun toh siapapun bisa dengan mudah mencecap dan mempelajarinya dengan mudah. Tinggal googling saja. Kedua, PKI masih dianggap berbahaya. Mencabut Tap MPRS ibarat melepas Kebo Danu – dalam kisah Jaka Tingkir- yang akan “memporak-poranda” konfigurasi gelanggang politik Indonesia sebagaimana yang terjadi awal tahun 1950. Dari nada dan intonasi bicaranya, terlihat jelas Kiai ini masih menyimpan kekuatiran lama yang pernah dialaminya. Saya sepenuhnya bisa memahami. Yang gagal saya mengerti justru ketidakseimbangannya menakar kemudlaratan. Membiarkan Tap MPRS ini ada dengan pertimbangan PKI akan menghancurkan Indonesia adalah hipotesa (dhanni) -- bisa terjadi bisa juga tidak. Sedangkan penderitaan para Tertuduh-PKI – jika Tap MPRS tidak dicabut-- merupakan sesuatu yang bersifat pasti (qath'i) karena hal tersebut telah berlangsung sejak 50 tahun hingga saat ini. Bagaimana mungkin kemudlaratan yang hipotesis mengalahkan hal yang bersifat definitif?

Sebaliknya, Kiai asal Pandalungan memberikan pandangan yang tidak kalah mengejutkan. Dalam makalahnya 'Islam Memandang Rekonsiliasi 1965 yang disampaikan dalam sesi kedua Halaqoh Kebudayaan "Memahami Peristiwa 1965" di Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, Kiai ini menutup makalahnya dengan paragraf yang cukup tegas. 'Namun, apabila TAP MPRS itu benar-benar menjadi penghalang bagi para Korban untuk mendapat hak-hak warga negaranya, maka tidak ada hal lain untuk segera mencongkelnya. Wallohu ta'ala a'lam'

September mendatang genap 50 tahun Peristiwa 65 berlalu. Impunitas dan diskriminasi atas Peristiwa tersebut harus diakhiri. Rekonsiliasi mempunyai makna negara bersedia jujur. Kebencian atas suatu kelompok hendaknya tidak menghalanginya bertindak adil. Ukuran minimalis keadilan dalam konteks ini cukup sederhana; Presiden mengajukan pencabutan TAP MPRS XXV/1966 ke MPR, dan menindaklanjuti temuan Komnas HAM ke level penyidikan. Hanya dengan langkah ini rekonsiliasi koma bisa menemukan titiknya.(*)

Aan Anshori |
Kordinator Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur,
Alumni PP. Bahrul Ulum Tambakberas Jombang | 13.120612.0288.02 (KARTANU)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun