Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Keempat untuk Andini, Hujan di Hatiku

9 Januari 2018   10:10 Diperbarui: 9 Januari 2018   10:16 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kebahagiaan yang memang kadang-kadang bisa membuatku senyum-senyum sendiri. Kebahagiaan yang jika didramakan, angina serasa berhembus pelan kemudian hujan berubah menjadi suara melodi-melodi lagu cinta saat dirimu muncul dibenakku semuanya menjelma menjadi symbol cinta. Semenjak perasaan ini muncul, aku selalu berjanji untuk selalu memperjuangkan cinta ini.

Mungkin saat ini cinta kita sedang berhenti. Sudah tiga puluh hari semenjak perjanjian pertama kita untuk tidak bertemu selama empat puluh hari. Waktu mundur ini bagai tetesan embun dari daun talas. 

Saking pelannya, aku semakin mabuk saja dengan cinta ini. Tetapi bukan mubak cinta yang kebablasan lho ya, mabuk cinta yang menjadi lupa diri dengan siapa dirinya hanya akan membuat martabat dirinya lenyap bagai butiran debu yang berterbangan. 

Layaknya keris yang harus ditempa api dengan besi bertubi-tubi. Demikian juga cinta kita, Andini. Pasti ada gejolak dan cobaannya. Lalu bagaimana kita menghadapinya, Andini?

Ah! Tampaknya hujan ini akan sampai siang, matahari masih saja sembunyi dari langit yang megah. Awan masih ingin menampakan dirinya dengan kegelapan. Begitu juga tetes demi tetes suara air hujan yang tidak mau berhenti. Andai aku diberi tulang belulang Nabi, pasti aku akan membawanya dan aku tampakan ke langit supaya hujan berhenti. 

Tahukah kisah tentang pawang hujan yang menggunakan tulang belulang Nabi, kisah ini di Mesir dan Nabinya aku tidak tahu, namun kisah ini ada dalam kitab-kitab kuno. Apakah kamu mau aku ceritakan kisah ini, besok-besok saja kalau bertemu ya. Aku sudah terlanjur ingin menampar hujan supaya pindah ke tempat-tempat yang gersang atau hutan lebat atau perbukitan yang banyak pepohonannya.


Gimana kalau aku cerita pengalaman kita saja, Andini. Saat kamu dan teman perempuanmu pergi ke pantai menganti. Melewati bukit yang terjal, jalanan yang menanjak ke langit. Memang untuk menuju lokasi pantai yang ciamik itu harus melewati perjuangan yang besar. Aku membuntutimu dari belakang, Andini. 

Berbekal vespa tua, topi koboi dan memakai sarungan aku berangkat dibelakangmu. Memang aneh tampilanku, Andini. Tetapi begitulah saat itu, apa adanya diriku. Agak ngeri juga saat vespaku menanjak, berbeda dengan motor maticmu yang lincah dan gesit.

Sesampai disana kita sama-sama ditelanjangi pemandangan yang luar biasa indahnya. Dari atas bukit dengan rinai tumbuhan kehijauan serta bebatuan besar yang megah, sambil memandang gelegar kebesaran langit dengan awan putih yang mempesona seakan bagai kain besar yang menutupi bumi nusantara. 

Apalagi jika mata dihujamkan ke pantai nan biru. Terhambar luas seisi samudera dengan garis lurus perbatasan yang tidak akan tahu dimana titik akhirnya. Ombak yang menggulung-gulung mesra bertamu dengan bebatuan tepi pantai, disana teriakan berdesir pecah. Dengarkanlah desir suara samudera itu, ingatkan lagi, Andini? Dengarkanlah sastra sabda alam itu, Andini?

Aku masih menunggu sepuluh hari untuk bisa berjumpa lagi denganmu, oh Andini. Aku merindukanmu dengan perasaan dimabuk asmara yang tak bertepi. Semoga perjumpaan kita nanti berbuah manis ya Andini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun