Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pedoman Anyar Gerakan Literasi yang Bikin Risau

12 April 2019   10:03 Diperbarui: 12 April 2019   11:43 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo credit: DaveTel (istockphoto.com)

Sejak tanggal 17 jadi keramat bagi para pegiat literasi, saya rajin menelusuri kembali buku-buku di rak yang sudah tak ingin atau tak mungkin saya simpan---tanpa perlu merasa terlalu khawatir untuk melepasnya. Saya percaya bahwa dengan dibukanya banyak sekali Taman Bacaan Masyarakat (TBM), telah terbuka pula tangan-tangan yang bersedia merawat buku-buku dengan cinta dan kesungguhan.

Kekhawatiran saya timbul ketika kemarin saya mendapati grup Pustaka Bergerak Indonesia membagikan Pedoman Program Pengiriman Buku dalam Pelaksanaan Gerakan Literasi Nasional---sebuah pedoman anyar yang mudah-mudahan dipublikasikan dengan pertimbangan yang sudah masak. Saya mulai membacanya. Poin demi poin.

Saya berusaha menerka alasan apa gerangan yang melatarbelakangi pihak Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0009/G/BS/2019? Tajuknya tampak biasa: Pedoman Program Pengiriman Buku dalam Pelaksanaan Gerakan Literasi Nasional. Namun bagi saya, isinya agak tidak biasa.

Dalam poin [B] (Kriteria Buku) tertera syarat buku yang akan didonasikan, di antaranya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, tidak diskriminatif berdasarkan SARA, tidak mengandung unsur pornografi, kekerasan, dan/atau ujaran kebencian.

Poin-poin itu membuat saya agak tertegun sembari mafhum. Oh, jangan-jangan....

Tetiba saja saya ingat beberapa kasus yang terjadi di akhir 2018 hingga awal 2019: razia buku! Aparat kepolisian dan TNI sempat merazia serta menyita buku-buku yang dituduh memuat paham komunisme dari 2 toko di Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan Padang, Sumatera Barat.

Selain itu, saya juga jadi ingat daftar lagu larangan yang dikeluarkan oleh KPID Jawa Barat. Saya mencium aroma yang sama di poin awal pedoman itu. Adakah penyusunan pedoman anyar ini merupakan upaya untuk mengawasi buku-buku yang beredar, supaya tidak mengancam kemaslahatan NKRI? Adakah itu aroma ketakutan yang saya endus? Hmm...

Hal yang juga membuat saya agak keder adalah terteranya poin tanggung jawab donatur pada poin [D] (Tanggung Jawab). Donatur kelak harus mengisi formulir berisi 7 hal---nama, kontak, hingga data buku. Judul, penerbit, tahun terbit buku harus dijabarkan satu demi satu dalam sebuah tabel Excel yang rapi nan unyu.

Tak hanya itu, ada juga surat pernyataan kesesuaian isi paket buku dengan peraturan yang harus diisi dan ditandatangani oleh donatur.

Benar bahwa saya separuh pengangguran, tapi mencatat buku yang hendak saya donasikan itu sepertinya akan cukup makan waktu, ya. Ditambah pula, selama ini banyak pelapak buku yang menerima pesanan dengan sistem tebus buku perkilo untuk disebar ke TBM-TBM. Setiap kilogram buku dibanderol dengan harga tertentu, donatur tahu beres. Tak jarang, buku pesanan mencapai---atau ditargetkan---berjumlah ratusan kilogram.

Jika saya punya belasan kilo buku untuk didonasikan, apakah sebaiknya saya mengantarkannya secara menyicil tiap bulan ke alamat tujuan pengantaran? Eits, nanti dulu... Itu berarti, saya harus mengantar paket buku ke Kota Bandung---yang berjarak 20-26 Kilometer dari rumah---dengan biaya dibebankan pada saya. Bukannya saya enggak mau ribet, tapi saya memang enggak mau ribet. Eh....

Itu baru saya. Belum terhitung orang-orang yang terpisah kota, bahkan pulau, serta kesulitan transportasi antar wilayah dan ongkos untuk mengantarnya ke markas Satker.

Apa pula itu Satker?

Satker (Satuan Kerja) Kemendikbud adalah sebuah tim yang bertugas dalam penyaluran buku, mulai dari penerimaan dari donatur hingga pengiriman ke TBM. Menurut pedoman, Satker bertanggungjawab untuk antara lain menyeleksi, melakukan pengemasan, dan menyerahkan paket buku ke PT Pos Indonesia (Persero).

Dalam bayangan saya, Satker adalah mereka yang bermandikan peluh menyeleksi buku yang datang dari seantero provinsi. Yhaa, menurut pedoman lagi, hanya akan ada satu markas Satker perprovinsi. Mungkin penyusun pedoman ini lupa lagu "Dari Sabang Sampai Merauke", lupa bahwa di Indonesia berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu, itulah....

Donatur yang berada di seluruh pelosok Jawa Barat---yang punya 18 kabupaten dan 9 kota di wilayah seluas 35.378 km---harus mengantar donasinya ke Balai Bahasa Jawa Barat di Kota Bandung. Permintaan untuk mengantar paket buku ke Satker markas Satker terdekat itu problematis. Kalau tidak ada yang dekat, bagaimana?

Belum lagi poin [F] (Mekanisme Pengiriman Buku) menyatakan bahwa "buku yang tidak lolos seleksi dapat diambil kembali oleh donatur buku paling lambat 7 hari setelah diberi pemberitahuan."

Secara umum, alur donasi buku yang tadinya hanya dua anak panah (donatur -> Pos Indonesia -> TBM) berubah menjadi empat anak panah (donatur -> alamat Satker -> Pos Indonesia -> TBM). Jika buku tak lolos seleksi, bertambahlah satu anak panah: buku kembali ke donatur. Menurut saya, seluruh proses baru tersebut sangat mubazir.

Mekanisme anyar pengiriman buku. Sumber gambar: Drive Google yang dibagikan Pustaka Bergerak Indonesia
Mekanisme anyar pengiriman buku. Sumber gambar: Drive Google yang dibagikan Pustaka Bergerak Indonesia

Lebih banyak hal harus dibuang: waktu, tenaga, uang. Dari tangan donatur hingga tiba di TBM, paket buku memakan waktu lebih lama. Menurut pedoman, donatur harus menyerahkan buku ke markas satker paling lambat tanggal 10 tiap bulannya.

Donatur tentu harus menyiapkan waktu lebih banyak. Mencapai markas Satker terdekat lebih sulit daripada mencapai kantor Pos terdekat yang persebarannya mirip dengan persebaran Alfamart dan Indomaret.

Soal uang, memang pembiayaan pengiriman buku sudah dilakukan dengan belanja barang biasa sesuai Peraturan Menkeu tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN. Namun pembentukan Satker saja pasti membutuhkan dana besar sekali. Tim itu akan terdiri dari manusia yang bekerja full time. Dugaan saya, perlu ada alokasi uang makan, transportasi, dan gaji pokok---mengingat mereka pasti bekerja sepanjang tahun.

Ya memang bukan uang saya yang dipakai, tapi kan "hemat pangkal kaya, boros pangkal miskin", kata sampul buku tulis. Kalau biaya bisa ditekan, kenapa tidak sih?

Jujur saja, pedoman anyar ini membuat saya merasa tidak dipercaya. Memangnya saya mau sebarkan konten dan paham apa melalui program semulia dan sekooperatif ini? Menyakitkan sekali rasanya.

Memang saya tidak rutin setiap bulan punya buku untuk didonasikan. Namun seperti juga pegiat dan peminat literasi lain, saya punya komitmen pribadi tentang bagaimana saya akan memperlakukan buku-buku yang sudah tak ingin atau tak mungkin saya simpan. Ketika Negara memfasilitasi komitmen pribadi saya, rasanya sungguh menyenangkan! Percayalah, sesuatu yang menyenangkan tak akan mungkin saya berhenti lakukan di angka 1.

Pedoman sudah disusun. Namun sepertinya tak sulit untuk memaafkan jika nanti ada evaluasi. Sebab pada esensinya, literasi adalah perkara memahami. Untuk bisa saling paham, harus ada telinga yang mendengar, kelapangan pikir, serta hati.

Semoga keribetan yang terlanjur beredar ini tidak menjauhkan cita-cita kita bersama untuk bertukar asa lewat buku.

Catatan:

Tulisan ini dibuat untuk menanggapi Surat Edaran berisi mengatur mekanisme baru pengiriman buku yang dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kemendikbud. Selengkapnya dapat dilihat di SINI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun