Apalagi, bagi korban maupun keluarganya. Kemudahan itu mungkin benar membuat perkara selesai lebih cepat. Akan tetapi, itu tidak pernah benar-benar mengembalikan apa-apa yang hilang atau rusak akibat kejahatan yang terjadi, baik dampak langsung maupun tidak. Terlebih, jika pada akhirnya yang hilang adalah nyawa.
Lebih jauh, dalam genggaman tangan yang salah---bukan macam perampok toko yang melaporkan kawannya tadi, melainkan mereka yang memiliki akses dan kuasa di dalam sistem hukum itu sendiri---mekanisme ini malih menjadi senjata untuk hal yang bisa jadi bertolak belakang dengan keadilan.
Di penghujung film, terang dipertunjukkan bagaimana instrumen ini kemudian dijadikan alat pengancaman untuk melindungi kepentingan para pemilik pengaruh. Biarpun secara teori, plea bargain menekankan pada kesukarelaan terdakwa.
Antara Efisiensi dan Negosiasi
Di sinilah kemudian tontonan fiksi ini bersinggungan dengan realitas hukum di Indonesia. Mengingat, peluang penerapan plea bargain sudah resmi termuat dalam RUU KUHAP sebagai upaya dekolonisasi hukum pidana dengan nama jalur khusus.
Seperti di film, mekanisme ini bertujuan untuk menciptakan proses peradilan yang lebih efektif dan efisien, mengatasi penumpukan perkara. Sebab, disebut, pada 2024 sudah mencapai hampir 3 juta perkara harus ditangani di pengadilan tingkat pertama di Indonesia. Ini menunjukan tingginya beban penanganan perkara yang diperiksa dan diadili oleh hakim, yang mana disebut dapat memengaruhi kualitas penanganan perkara.
Namun, berkaca dari film Detective Conan yang berlatar di Jepang, negara yang konon dikenal jujur dan adil, maka, apakah intimidasi dan penyalahgunaan plea bargain yang ditampilkan di post-credit film tidak akan terjadi di Indonesia? Terlebih, ketika pihak-pihak yang terlibat adalah mereka yang berkedudukan tinggi dan memiliki akses luas di dalam sistem hukum, persis di film itu.
Saya belum bisa mengatakan menolak atau mendukung sistem ini. Tentu bagus jika penanganan perkara oleh hakim dilakukan secara prima.
Tapi, bagaimanapun, akhir dari film terbaru Conan ini membuat mudah untuk membayangkan jika kemudian sudah sah diterapkan di Indonesia: seorang yang terbukti korupsi dalam jumlah terlampau jumbo, mengembalikan sebagian curiannya dan/atau menceritakan siapa-siapa saja yang turut serta sebagai bukti kooperatif, lalu mendapat tuntutan yang lebih ringan lalu perkara diputus selesai.
Padahal, di balik itu, bisa jadi sebagai efek riak dari korupsi yang ia lakukan, ada balita yang menderita gizi buruk dan diambang (atau sudah menemui) kematian, ada orang tua yang kebingungan membayar uang sekolah anaknya, atau juga, ada guru yang tidak bisa berangkat mengajar karena upahnya yang tidak sampai setengah UMK itu sudah habis terpakai membeli bensin, jauh sebelum tanggal gajian berikutnya.
Eh, lho. Kok, sudah terdengar familier?
Atau bahkan, rekan sesama koruptor yang merasa terkhianati. Eh, kalau itu, sih, nggak ngurus, ding.