Di sudut-sudut kota besar, kedai kopi bermunculan bak jamur di musim hujan. Dari brand internasional hingga warung kopi pinggir jalan, semua menawarkan suasana nyaman, aroma menggoda, dan yang paling penting instagrammable. Di meja-meja kayu itu, banyak anak muda duduk berjam-jam, sibuk mengetik di laptop, bercengkerama, atau sekadar menggulir layar ponsel. Tak jarang, segelas kopi seharga dua puluh hingga lima puluh ribu rupiah menjadi "teman setia" yang tak terelakkan.
Fenomena ini melahirkan satu pertanyaan klasik, Ngopi atau nabung?
Pertanyaan sederhana, tapi diam-diam menyentuh inti persoalan finansial generasi muda saat ini. Di satu sisi, ngopi adalah simbol gaya hidup modern, tempat membangun relasi, mengekspresikan diri, dan menikmati hidup. Di sisi lain, kebiasaan ini bisa menggerus dompet, apalagi jika dilakukan hampir setiap hari.
Bagi banyak anak muda, kopi bukan sekadar minuman berkafein. Ia adalah pengalaman sosial, medium untuk networking, bahkan bentuk self reward. Setelah bekerja keras atau belajar sepanjang minggu, nongkrong di kedai kopi terasa seperti hadiah kecil yang pantas. Masalahnya, hadiah ini tidak datang gratis.
Mari kita hitung, jika segelas kopi seharga Rp30.000 dinikmati lima kali seminggu, itu berarti Rp150.000 per minggu atau sekitar Rp600.000 per bulan. Dalam setahun, angkanya bisa tembus Rp7,2 jutasetara uang muka motor atau modal investasi awal.
Generasi muda kini hidup di tengah arus FOMO (Fear of Missing Out). Media sosial memamerkan gaya hidup ideal, lengkap dengan foto flat lay kopi dan kue cantik. Tekanan untuk ikut tren ini sering membuat prioritas keuangan kabur. Menabung terasa seperti menunda kesenangan, padahal kesenangan itu begitu mudah dijangkau.
Namun, realitas finansial berkata lain. Harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan melonjak, dan investasi butuh waktu untuk berkembang. Mengabaikan tabungan demi memuaskan keinginan sesaat bisa menjadi jebakan jangka panjang.
Pertanyaan "Ngopi atau nabung?" seharusnya tidak dijawab dengan larangan total. Kunci sebenarnya ada pada keseimbangan. Ngopi sesekali tidak akan merusak keuangan, asalkan tetap ada alokasi dana untuk tabungan atau investasi. Prinsip 50, 30, dan 20, di mana 50% penghasilan untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan bisa menjadi panduan sederhana.
Selain itu, ada cara kreatif untuk tetap menikmati kopi tanpa menguras dompet diantaranya membuat kopi sendiri di rumah, mencari promo kedai kopi, atau mengubah jadwal nongkrong menjadi kegiatan lain yang lebih hemat.
Generasi muda punya energi dan waktu yang melimpah, tapi masa depan menuntut kesiapan. Menabung dan berinvestasi sejak dini memberi peluang untuk meraih kebebasan finansial lebih cepat. Pada akhirnya, pilihan "ngopi atau nabung" bukanlah drama yang memisahkan, melainkan panggilan untuk berpikir bijak.
Segelas kopi bisa memberi kebahagiaan hari ini, tetapi tabungan bisa memberi ketenangan di masa depan. Mungkin, jawaban terbaik bukan memilih salah satu, melainkan memastikan keduanya berjalan berdampingan.
Referensi
- Kompas.com. (2022, 4 Juli). Fenomena ngopi di kalangan anak muda. Kompas.com. https://www.kompas.com/food/read/2022/07/04/150800575/fenomena-ngopi-di-kalangan-anak-muda
- Katadata.co.id. (2022, 1 Februari). Bisnis kedai kopi di Indonesia tumbuh pesat. Katadata.co.id. https://katadata.co.id/ekarina/industri/61f8e5ff61b5e/bisnis-kedai-kopi-di-indonesia-tumbuh-pesat
- CNBC Indonesia. (2019, 15 Maret). Generasi milenial boros demi lifestyle?. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190315150217-33-61372/generasi-milenial-boros-demi-lifestyle
- The Conversation. (2021, 20 Mei). Bagaimana mengatur keuangan pribadi dengan prinsip 50/30/20. The Conversation. https://theconversation.com/bagaimana-mengatur-keuangan-pribadi-dengan-prinsip-50-30-20-161234
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI