Hutama duduk termenung di beranda rumah dinasnya yang sederhana di pinggir Palangka Raya. Malam telah turun perlahan, menyisakan sisa cahaya jingga di ujung barat. Sepiring singkong goreng buatan ibu kos masih utuh di pangkuannya. Angin malam yang membawa aroma tanah basah selepas hujan seolah menjemput kenangan dari tempat yang jauh: kampung halamannya di Wonogiri, Jawa Tengah.
Sudah tiga tahun ia mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah. Tugasnya tak main-main: mendata dan mengawasi area konservasi hutan yang luasnya puluhan ribu hektar. Awalnya, ia menganggap ini sebagai petualangan. Tapi semakin lama, rasa itu berganti menjadi kerinduan yang nyaris tak tertahankan.
"Mas Hut, makanannya dingin nanti," suara Bu Sari, ibu kosnya, memecah lamunan.
"Iya, Bu... nanti saya makan," jawab Hutama dengan senyum lemah.
Ia kembali menatap layar ponselnya. Grup keluarga ramai membahas rencana panen padi di desa. Ada foto sawah menguning, bapaknya berdiri dengan caping dan senyum bangga. Di pojok foto itu, terlihat samar gubuk kecil tempat ia dulu sering tidur siang setelah membantu ibunya menyiangi rumput.
Hutama menarik napas panjang. "Kapan ya bisa pulang?" gumamnya.
Pagi harinya, seperti biasa, Hutama menyusuri jalan tanah merah menuju lokasi survei. Bersama dua rekan lokal, ia mendokumentasikan pertumbuhan pohon-pohon yang ditanam lima tahun lalu sebagai bagian dari program rehabilitasi hutan.
Di tengah sunyi hutan, salah satu rekan, Udin, bertanya, "Pak Hutama belum mudik lagi ya?"
"Belum, Din. Tahun kemarin batal karena ibu sakit. Sekarang juga belum sempat, kerjaan lagi banyak," jawabnya sambil menahan raut kecewa.
"Keluarga pasti kangen," celetuk rekan satunya, Wahyu.