Langit Jakarta belum benar-benar terang ketika Raka sudah berdiri di depan halte Transjakarta. Tubuh kurusnya dibalut jaket lusuh, rambutnya sedikit acak-acakan, dan matanya masih menyimpan kantuk. Tapi semangat dalam dadanya berkobar lebih terang dari matahari yang belum terbit.
Dia mengejar mimpi.
Bukan mimpi besar yang mengubah dunia,setidaknya belum. Tapi mimpi sederhana: menjadi desainer grafis profesional dan bisa membahagiakan ibunya di kampung. Sejak lulus SMA dua tahun lalu, Raka meninggalkan rumah kecil di Garut dan datang ke Jakarta berbekal nekat dan laptop tua warisan ayahnya. Ia bekerja serabutan, dari pelayan kedai kopi hingga penjaga parkir, sambil mengasah kemampuan desain dari tutorial YouTube dan kursus gratis online.
Hari ini penting. Ia dapat undangan wawancara dari sebuah agensi kreatif yang selama ini hanya ia kagumi dari jauh. Portofolio yang ia kirim beberapa minggu lalu ternyata menarik perhatian mereka.
Sambil duduk di bus yang bergoyang pelan, Raka membuka ulang hasil desainnya. Ia tahu laptop-nya sudah ketinggalan zaman, warnanya kadang tak akurat, tapi ia tetap percaya: jika ide dan usaha cukup kuat, keterbatasan alat bisa dikalahkan.
"Nama kamu siapa tadi?" tanya seorang pria berkemeja putih ketika Raka duduk di ruang wawancara.
"Raka, Pak," jawabnya sambil menunduk sopan.
"Portofolio kamu menarik. Tapi kamu nggak kuliah ya?"
"Belum, Pak. Saya belajar otodidak sambil kerja," jawabnya jujur.
Pria itu mengangguk pelan. "Kami butuh desainer yang bisa kerja cepat dan terbiasa dengan tekanan. Kamu yakin sanggup?"