Mohon tunggu...
Kuncoro Adi
Kuncoro Adi Mohon Tunggu... profesional -

Lahir di semarang, tinggal di Jakarta. Penulis, editor buku dan pembicara publik. Tulisan tentang kerohanian, bisa di akses di blog pribadi http://kuncoroadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mendampingi Anak yang Mengalami KDRT

7 April 2013   10:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:35 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

I.PENDAHULUAN

Adalah sebuah realita yang tidak bisa dibantah, seorang anak sering kali mengalami berbagai macam kekerasan dalam keluarganya. Posisi sebagai anak yang subordinatif dihadapan orang tua sering kali membuat si anak tidak berdaya dan berada pada posisi yang sangat rentan untuk dieksploitasi. Begitu seriusnya masalah kekerasan terhadap anak ini,sampai pemerintah menetapkan 20 November sebagai hari kekerasan dalam keluarga. Tentu maksudnya adalah untuk mengingatkan masyarakat betapa seriusnya kasus-kasus kekerasan dalam keluarga dan betapa serius akibat yang ditimbulkannya. Kekerasan dalam keluarga biasanya dialami oleh 2 sosok, yaitu : istri dan anak-anak. Tulisan ini akan secara khusus membahas hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan yang dialamiseorang anak oleh orang tuanya, baik ayah maupun ibu.

Mengapa anak? Karena dialah “mahkluk” paling lemah dalam hierarki sebuah keluarga. Ia juga sering diperlakukan sebagai obyek penderita semata.

Betapa rentannya seorang anak bisa terlihat dari teori ‘tabularasa” - pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Skotlandia, David Hume - dimana seorang anak dianggap seperti sebuah kertas putih belaka. Bagaimana jadinya kelak, amat tergantung pada “siapa yang menulisinya” dan “apa yang dituliskan terhadap dirinya.” (lih.Brian Tracy, Change Your Thinking change your Life, Penerbit Kaifa, 2005, hal 39-40) Mudah dibayangkan, kalau kekerasan dan aniaya yang “dituliskan” ke dalam diri si anak, maka kelak dia akan menjadi orang yang juga suka mengumbar kekerasan. Kalau frame of reference yang dimilikinya amat berbau kekerasan maka, selanjutnya si anak akan mengikuti pola itu juga dalam berinteraksi dengan orang lain. Kenapa demikian ? Karena hal itulah (kekerasan) yang paling dominan dialaminya samasa kecil. Hal itulah hal yang “paling” dipahaminya. Oleh sebab itu, hal itu pula yang cenderung akan dilakukannya. Akibat sampingan yang juga patut diperhitungkan adalah “hilangnya” wibawa atau pengaruh orang tua terhadap anak. Peran orang tua sebagai model untuk ditiru, jelas hancur berkeping-keping saat mereka memperlakukan si anak dengan semena-mena.

Melihat begitu hebat dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam keluarga terhadap seorang anak, maka masalah ini patut diperhatikan dengan serius. Terutama oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia anak-anak baik sebagai seorang pendidik (guru sekolah, guru Sekolah minggu, Rohaniwan) maupun para praktisi (orang tua). Harus dasadari bahwa pengalaman diperlakukan secara keras dan kasar bisa menjadi sebuah pengalaman traumatis yang sulit untuk dihilangkan!

II.KEKERASAN DALAM KELUARGA : APA DAN MENGAPA ?

Definisi sederhana untuk pokok ini adalah : kekerasan –baik secara fisik, seksual maupun emosional – yang dialami oleh seorang anak, sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang semena-mena dan otoriter.

Kekerasan itu mengejawantah dalam berbagai tindakan seperti :


  • Mengeluarkan kata – kata makian yang cenderung merendahkan anak
  • Melempar, memukul, dan menyakiti anak
  • Suka menyumpahi anak
  • Keras / kasar dalam mendidik anak
  • Perilaku pelecehan seksualterhadap anak

Sementara itu penyebabdari hal ini, ada beberapa hal, diantaranya :

1.Perkawinan yang tidak stabil

Sebuah perkawinan yang tidak stabil - dimana kebutuhan relational, spiritual dan emosional – masing-masing pasangan tidak terpenuhi secara memadai, seringkali akan menghasilkan orang tua yang “kejam” dan otoriter. Dalam situasi seperti ini jelas si anak akan merasa terancambaik secara emosional maupun fisik. Orang tua yang terus bertengkar, membuat seorang anak kehilangan rasa aman yang amat dibutuhkannya. Dan celakanya, seringkali si anak menjadi proyeksi “kekesalan” orang tuanya. (Lih. Les Parrot III, Helping the struggling adolescent, Zondervan Publishing House, hal.209-211)

2.Poor Communication

Komunikasi yang tidak baik antara orang tua dan anak menyumbang cukup besar dalam kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Sikap orang tua yang cenderung otoriter dan main perintah membuat peluang untuk melakukan kekerasan menjadi sangat besar.

3.Dibesarkan dalam lingkungan yang kasar

Sering juga terjadi, orang tua yang kasar ternyata berasal dari keluarga yang kasar juga. Jadi apa yang diterimanya dari kecil dan kemudian termemori dalam benaknya, itulah yang kemudian dilakukan terhadap anak-anaknya. Jadi, pola asuh ternyata menentukan sekali, menjadi seperti apa seseorang kelak dikemudian hari.

4.Kurangnya self control

Perilaku orang tua yang keras dan kasar seringkali disebabkan juga oleh kurang mampunya si orang tua mengontrol emosi. Yang muncul kepermukaaan adalah sikap yang suka marah-marah. Bahkan tanpa sebab yang jelas. Jadi sekalipun usia sudah cukup tua tetapi emosinya masih suka meledak-ledak dan emosional.Imbasnya adalah perlakuan yang buruk terhadap sang anak. Menurut penelitian para ahli sikap pemarah ini sering disebabkan oleh beberapa hal (Band. Yakub Susabda, Pastoral Konseling jilid 2, Gandum Mas, 1996, hal 8-10) :

·Perasaan terhadap ketidak adilan yang berlaku

Ini bisa benar , tapi bisa juga salah.Tergantung motivasi yang melandasinya.

·Frustasi

Amarah bisa timbul sebagai respon atas perasaan frustasi. Frustasi adalah reaksi emosi yang timbul oleh karena adanya hambatan untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu. Semakin besar kadar frustasi itu, semakin besar pula amarah yang bisa timbul.

·Perasaan disakiti atau tarancam

Seseorang yang sering diremehkan, dikritik secara sewenang-wenang dan terancam kehormatannya, acapkali akan menunjukkan amarah yang meluap-luap. Dalam kasus ekerasan orang tua terhada anak, perasaan disakiti dan terancam itu sangat mungkin diterima oleh si orang tua saat ia masih kanan-kanan. Celakanya, hal itu kemudian diulanginya terhadap anaknya sendiri. Jadilah siklus ini berkepanjangan menjadi sebuah lingkaran setan yang menyesakkan.

·Kebiasaan

Ada orang-orang tertentu yang memang memiliki tingkat amarah yang lebih tinggi dibandingkan oleh orang lain. Orang yang demikian akan terlihat lebih emosional dan temperamental dibandingkan orang lain. Biasanya kita menyebut orang yang demikian sebagai orang yang “berdarah panas”.

·Keadaan Rohani yang tidak sehat

Dalam banyak kisah di alkitab digambarkan bahwa orang-orang yang ‘jauh” dari Allah seringkali menunjukkan sikap yang sangat temperamental. Putusnya hubungan dengan Allah membuat seseorang memiliki “persepsi yang telah terdistorsi”, dimana hal ini menjadi akar dari sikap pemarah.

5.Stres : karena banyak masalah hidup yang tidak terselesaikan

Tekanan dan tingkat stressing yang tinggi tidak bisa dipungkiri lagi menjadi salah satu pemicu tindak kekerasan orang tua terhadap anak. Seringkali tekanan ekonomi dan permasalahan yang membelit orang tua coba “disalurkan” dengan bertindak kasar dan keras kepada anak. Akibatnya, fatal. Si anak yang tidak tahu apa-apa akhirnya menjadi korban keadaan.

III.AKIBAT BAGI SI ANAK YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM KELUARGA

Sangat banyak hal negative yang dialami seorang anak sebagai akibat dari perlakuan kasar dan keras orang tuanya. Beberapa hal yang sangat lazim akan diuraikan berikut ini.

1.Perilaku yang menyimpang

Banyak laporan menyebutkan perilaku menyimpang seseorang seperti – orientasi seks yang tidak normal (homoseks atau lesbian, sado masokhis), tindakan kejam dan berdarah dingin (misalnya Hitler dan Lenin), ternyata berakar dari perlakuan buruk yang diterima seseorang sewaktu ia masih kanak-kanak. Perilaku kasar, keras dan terlecehkan yang diterima seseorang mengakibatkan ia menyimpan dendam saat sudah dewasa nanti. Dan dendam itu kemudian direalisasikan dalam berbagai perilaku “menyimpang” yang cenderung merugikan orang lain.

2.Perasaan Minder yang berlebihan

Dalam kadar tertentu setiap orang memiliki rasa tidak percaya diri, namun seorang anak yang terbiasa dididik secara keras dan kasar serta sering mendengar sumpah serapah dari orang tuannya secara otomatis akan mengembangkan sebentuk citra diri yang negative. Anak-anak ini menderita rasa kurang percaya diri yang akut. Akibatnya mereka kurang bisa berprestasi secara maksimal. Tidak mungkin seseorang mencapai prestasi tinggi, tanpa dia memiliki citra diri yang tinggi pula! Perasaan minder bila mencapai ujung yang sangat ekstrim bisa membuat seseorang menjadi asosial dan penyendiri. Menjadi pribadi yang tertutup dan tidak memiliki keperdulian terhadap orang lain.

3.Munculnya dendam tersembunyi

Tanpa disadari perilaku keras dan kasar si orang tua lama-kelamaan akan menimbulkan akar kepahitan dalam diri si anak. Akar kepahitan ini “menjelma” dalam bentuk perlawanan atau pemberontakan terhadap segala sesuatu yang dirasa sebagai representasi dari orang tua si anak. Hampir dapat dipastikan para trouble maker (biang kerok) adalah mereka-mereka yang diperlakukan secara buruk ketika masih kanak-kanak. Ketika seseorang kurang memperoleh “perasaan dimiliki” (sense of belonging), maka ia cenderung menjadi kurang aman.( band. komentar yang dibuat oleh John Maxwell dalamMaxwell Leadhership Bible, hal.1150) Dan perasaan kurang amannya itu kemudian diproyeksikan dengan sikap suka memberontak terhadap semua otoritas yang ada di atasnya (dimana otoritas itu dianggap sebagai otoritas yang merepresentasikan orang tuanya).

4.Perasaan Traumatis berkepanjangan

Ini yang mungkin paling berbahaya dari semua akibat negative perlakuaan keras dan kasar selama masa kanak-kanak. Pernah seorang pendeta bercerita bahwa salah seorang katekisannya sulit untuk berdoa Bapa Kami, berhubung ia memiliki gambaran yang buruk tentang bapak duniawinya yang kejam dan keras. Trauma itu menyebabkan orang tersebut sampai dewasa sulit menyebut Tuhan sebagai Bapak yang baik dan penuh perhatian.

IV.BAGAIMANA MENDAMPING ANAK-ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Ada beberapa hal yang coba kami usulkan :

1.Kasihi mereka dengan tulus

Bagaimanapun juga obat dari segala macam “penyakit emosional’ adalah kasih yang tulus. Saat seseorang yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga merasa dirinya secara tulus dan apa adanya dikasih, ia akan merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri. Segala dampak negative dari perlakuan kasar dan keras yang diterimanya dimasa lalu sedikit demi sedikit bisa dinetralisir. Firman Tuhan mengatakan kasih adalah yang terbesar dari segala-galanya (1 Kor. 13:13; 1 kor.16:14, 1 Yoh. 4:7)

Saat seseorang dikasihi, ia akan merasa damai, akibatnya semua pengalaman traumatisnya masa lalunya akhirnya akan hilang dengan sendirinya. Catatan penting disini adalah : kasih yang diberikan harus tulus dan tanpa pamrih (unconditional), hanya jenis kasih seperti inilah yang mampu melenyapkan segala macam pengalaman traumatis. Menarik sekali untuk dicermatilaporan penelitian Bernie Siegel, bahwa seorang anak yang ketika berangkat sekolah menerima kecupan cinta dari sang ibu ternyata memiliki prestasi yang sangat memuaskan serta cenderung untuk tidak berkelahi di sekolah, dibandingkan dengan anak-anak yang “diberangkatkan” oleh seorang Baby sitter. (lih.Parlindungan Marpaung, Setengah isi, setengah kosong, MQS Publishing, Bandung , 2005 hal. 7)

2.Berikan penegasan yang positif

Mereka yang mengalami kekerasan dalam keluarga pasti memiliki citra diri yang buruk dan merasa tidak berharga. Obatnya sederhana sekali : beri mereka penegasan (afirmasi) positif terus menerus, sampai akhirnya perasaan minder, tidak aman, kepahitan itu lenyap. Ini bisa diibaratkan menuangkan air terus menerus kedalam gelas berisi air kotor, sampai akhirnya semua air kotor keluar, digantikan air baru yang jernih. Ini juga ibarat menggantikan kirbat lama dengan kirbat yang baru (Mat.9:17) . Mereka yang memiliki citra diri yang buruk perlu terus diingatkan tentang betapa berharganya diri mereka dihadapan Allah. Mereka perlu sering-mendengar apa yang dikatakan Allah tentang diri mereka. (Maz.8:5-7)

3.Lakukan doa pelepasan

Bagaimanapun juga trauma adalah sebuah ikatan, oleh sebab itu harus dilepaskan. Sebuah doa pelepasan yang berkuasa perlu dilakukan kepada mereka yang mengalami trauma kekerasan masa kanak-kanak. Dengan kuasa yang diberikan Tuhan Yesus kepada kita orang percaya, kita wajib melepeaskan mereka yang terikat oleh segala macam kepahitan hidup. Sebab hanya kuasa salib Kristuslah yang mampu memberikan kesembuhan yang menyeluruh bagi seseorang yang terikat dengan berbagai permasalahan emosional, fisik maupun spiritual.

KEPUSTAKAAN


  1. Alan Loy Mc Ginnis, Percaya diri VS Kesombongan, Metanoia, 1997
  2. Brian Tracy, Change Your Thinking change your Life, Penerbit Kaifa, 2005.
  3. John Maxwell,Maxwell Leadhership Bible, Thomas Nelson, 2002
  4. J. Knox Chamblin, Paulus dan diri : Ajaran Rasuli bagi keutuhan pribadi. Penerbit Momentum
  5. Larry Crabb, Prinsip dasar konseling Alkitabiah, YPI Immanuel, 1996
  6. Les Parrot III, Helping the struggling adolescent, Zondervan Publishing House, 1993
  7. Neil T. Anderson, Bebas dari kuasa Gelap, Penerbit Andi, Yogyakarta,1996
  8. Yakub Susabda, Pastoral Konseling jilid 2, Gandum Mas, malang, 1996

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun