Mohon tunggu...
Aditya Salim
Aditya Salim Mohon Tunggu... Konsultan - Law enthusiast

Write to educate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gaduh "Assessment Online" Seleksi BPI LPDP 2017

1 Januari 2018   13:45 Diperbarui: 1 Januari 2018   13:52 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Masyarakat Peduli LPDP

1 Januari 2018

29 Desember 2017, di kanal youtube muncul sebuah video di laman najwashihab berjudul "Gaduh Beasiswa Dari Pajak Rakyat". Video ini membahas pelaksanaan seleksi beasiswa BPI LPDP tahun 2017. Secara singkat, 2 isu utama yang diangkat dalam video ini yaitu pertanyaan wawancara yang dirasa sensitif serta assessment online. Tulisan ini hanya akan berfokus pada assessment online.

Sebelum membahas lebih jauh, alangkah baiknya jika kami dapat mengajak para pembaca untuk mengerti bahwa karena keterbatasan durasi video maka cukup banyak informasi yang hilang dari apa yang sebenarnya disampaikan pada proses pembuatan video dimaksud. Kamipun memaklumi jika ada yang mengomentari bahwa video dimaksud tendensius, kurang berimbang, melompat kepada kesimpulan dan lain-lain. Hal tersebut yang mendasari kami membuat tulisan ini, dengan harapan para pembaca mendapatkan gambaran utuh isu assessment online, dan lebih diharapkan lagi agar muncul diskursus yang sehat dan berlandaskan keilmuan untuk membangun LPDP lebih baik kedepannya.

Kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya untuk tim najwashihab yang telah mengangkat isu ini terlepas dari segala pro dan kontra yang bermunculan setelahnya. Apa yang dilakukan oleh tim najwashihab sejatinya merupakan bentuk amalan dari tujuan mulia pers yaitu informasi, pendidikan dan kontrol sosial. Juga kepada 2 rekan kami yang telah bersedia menjadi narasumber untuk video najwashihab.

Apresiasi tinggi juga kami sampaikan kepada LPDP sebagai lembaga yang telah membuka pintu bagi ribuan anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan tingkat lanjut baik di dalam maupun luar negeri. Kami dan tentu seluruh masyarakat Indonesia ingin agar LPDP terus bertransformasi menjadi lebih baik karena tak ada gading yang tak retak. Inilah alasan mengapa kami berjuang untuk tetap bersuara mengenai assessment online.

Melihat potensi pro dan kontra yang sangat tinggi, sebenarnya tim kami enggan untuk mengangkat topik ini ke publik sejak awal kami memulai gerakan ini. Andai saja LPDP lebih membuka diri untuk korespondensi secara formal dengan melakukan tatap muka serta memberikan penjelasan yang lebih komprehensif melalui surat, niscaya isu assessment online akan bergerak pada koridor yang terkontrol.

Namun apa daya, 2 surat yang kami kirimkan sejak 30 Agustus 2017 dan upaya-upaya lanjutannya menemui titik buntu. Kami mengirimkan 2 surat kepada LPDP pada tanggal 30 Agustus 2017, yaitu surat permohonan audiensi dan surat permohonan informasi. Surat tersebut disusun bersama-sama oleh Masyarakat Peduli LPDP yang terdiri dari para peserta seleksi BPI LPDP Tahun 2017, awardee LPDP dan tokoh publik untuk mengetahui lebih mendalam maksud, tujuan serta dasar pengambilan keputusan digunakannya sistem assessment onlinepada seleksi BPI LPDP Tahun 2017.

Perlu kami sampaikan, sampai tulisan ini dibuat surat permohonan audiensi yang kami ajukan juga belum mendapatkan respon, meskipun tanggal 18 Oktober 2017 kami telah mengirimkan surat kedua ditujukan kepada Menteri Keuangan selaku salah satu Dewan Penyantun LPDP. Selama periode waktu September -- November kami tetap melakukan follow-upsecara informal melalui sms maupun telepon kepada pimpinan LPDP, namun tetap tidak membuahkan hasil.

Surat permohonan informasi yang kami ajukan, secara singkat, berisi 4 pertanyaan: (i) metodologi dan mekanisme dari tahapan seleksi BPI LPDP tahun 2017; (ii) metodologi dan indikator penilaian calon awardeedi tahun 2012 -- 2016; (iii) kriteria ideal awardeeLPDP 2012 -- 2016; dan (iv) hasil monitoring dan evaluasi awardeeLPDP tahun 2012 -- 2016 dengan menggunakan Personal Enterprise Plan. Namun pertanyaan inti dari surat kami, yaitu pertanyaan nomor (i) dijawab oleh LPDP sebagai informasi yang dikecualikan dan menolak permohonan informasi kami berdasarkan Pasal 2 angka 4 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu dengan menutup informasi maka akan melindungi kepentingan yang lebih besar. Kami mengirimkan keberatan atas tanggapan tersebut kepada atasan PPID Kementerian Keuangan, namun tetap dijawab dengan argumen yang sama.

Empat bulan menunggu, mungkin "gaduh"-lah cara yang tepat agar kami (mungkin) bisa bertemu langsung dengan LPDP dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan kami khususnya mengenai assessment onlinepada seleksi BPI LPDP tahun 2017.

SUDUT PANDANG

Bagi yang telah menyaksikan video dimaksud, kami yakin bahwa telah terbentuk sebuah persepsi terhadap isu yang dibahas, narasumber yang diliput dan lain-lain. Hal tersebut merupakan hak dari para penonton yang tidak dapat diganggu oleh siapapun. Hanya saja, izinkan kami sekali lagi menyampaikan, bahwa ada beberapa bagian informasi yang belum tersampaikan akibat terbatasnya durasi video. Informasi yang kami coba kumpulkan dari berbagai psikolog-psikolog mengenai assessment online.

 Kami juga menemui beberapa peserta lain yang juga mempertanyakan assessment online karena merasa belum mendapatkan kesempatan untuk diuji secara menyeluruh terkait kontribusi nyata yang telah mereka lakukan, kemampuan, pengetahuan serta rasa nasionalisme mereka terhadap Indonesia, namun sudah harus terhenti karena assessment online.

Bersuara mengenai assessment onlinebukan perkara mudah karena kami menyadari banyak resiko yang mungkin terjadi terhadap diri kami per individu. Namun dikarenakan kami berusaha melihat hal ini tidak dari perpesktif dan kepentingan kami selaku individu, maka kami yakin untuk terus maju. Kalau memang kami ingin bersuara untuk kepentingan mengubah keputusan hasil kami pribadi, tentu isu ini sudah diangkat sebelum hasil akhir seleksi BPI LPDP 2017 diumumkan.

Selanjutnya, kami sama sekali tidak pernah membahas dan tidak bermaksud membahas kualitas individu terpilih yang sudah menjadi awardee LPDP, baik yang sedang maupun telah selesai menjalankan studinya, dalam konteks apapun. Kami yakin mereka adalah bibit-bibit anak muda yang unggul dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi untuk Indonesia.

Terdapat dua isu utama mengenai assessment onlineyang akan kami bahas dalam tulisan ini. Yang pertama adalah assessment online dilakukan tidak pada medium yang terkontrol, dan Kedua, assessment online menjadi determining factor untuk mengeliminasi pendaftar. Selain itu, dua isu non-utama yang kami soroti adalah: Pertama, penetapan batas skor 575 untuk seseorang dapat lolos tahapan assessment online (single quantitative assessment); dan Kedua, cakupan pertanyaan tes yang terbatas hanya pada aspek values & motives, tidak mencakup kemampuan logika, konsentrasi, IQ dan lain-lain. Terakhir, isu yang prioritasnya paling rendah adalah kredibilitas pihak ketiga penyelenggara assessment online -yang notabene adalah perusahaan yang memiliki portofolio seleksi/rekrutmen tenaga kerja- dalam melaksanakan seleksi calon penerima beasiswa.

Kami memiliki hipotesa dan banyak pertanyaan yang kami harapkan dapat terjawab. Melalui tulisan ini kami mengharapkan adanya tanggapan atau masukan yang objektif dari para pembaca dalam hal hipotesa kami keliru, atau jika anda memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami yang belum terjawab sampai saat ini. Merupakan hal yang baik bila diskursus yang sehat ini dapat menjadi sebuah analisis terhadap pengambilan keputusan pelaksanaan assessment online yang mempergunakan anggaran dengan jumlah besar mencapai kurang lebih 2,3 miliar rupiah.

ASSESSMENT ONLINE

1. Tahun 2017 adalah pertama kalinya LPDP menggunakan sistem assessment online pada tahapan seleksinya. Para pendaftar yang telah lolos seleksi administrasi/berkas, memiliki kesempatan untuk dapat mengikuti assessment online. Assessment online dikerjakan oleh para peserta dengan mengakses laman web yang sebelumnya telah dikirimkan melalui emailoleh penyelenggara tes. Peserta dapat mengerjakan tes ini dimanapun dalam jangka waktu yang telah dibatasi 24 jam.

Berdasarkan penelusuran kami terhadap beberapa psikolog, pelaksanaan pengerjaan tes oleh para peserta yang bebas kontrol berpotensi besar menciptakan hasil yang unknownbagi penyelenggara, karena tidak dapat dipastikan 100% bahwa pendaftarlah yang mengerjakan tes tersebut, dan pendaftar dalam mengerjakan tes dimaksud tidak menggunakan sarana bantu dalam bentuk apapun. Menyediakan sebuah sarana terkontrol merupakan hal yang sangat esensial bagi pelaksana tes untuk memastikan validitas dari hasil tes dimaksud.

Maka jika dinilai secara objektif, patut dipertanyakan apakah betul instansi LPDP mendapatkan gambaran yang jujur dan utuh dari para pendaftarnya? Karena bahkan untuk memastikan bahwa yang mengerjakan adalah benar pendaftar sendiri pun mungkin sulit. Jika demikian, apakah uang 2,3 miliar rupiah yang telah dibelanjakan tepat guna dan berhasil guna?

Andai saja assessment online ini dilaksanakan dengan metode dipanggilnya para peserta ke dalam ruangan khusus, dengan dilengkapi pengawas dan sistem komputer yang aman, maka tentu tidak ada celah untuk dapat mempertanyakan assessment online karena dipastikan bahwa pendaftar sendirilah yang mengerjakan tes dimaksud dan tidak dengan sarana bantu.

2. Selanjutnya, beberapa orang psikolog yang kami wawancarai menyatakan bahwa alat ukur assessment online memiliki banyak celah kekurangan, antara lain: (i) hanya dapat memberikan gambaran yang umum mengenai kepribadian seseorang; (ii) berpotensi diselesaikan dengan metode for good (menjawab sesuai ekspektasi bukan dengan kondisi yang sebenarnya). Maka pertanyaan kemudian adalah apakah dengan 220 pertanyaan, maka LPDP bisa memiliki gambaran utuh terhadap kepribadian dan value seseorang?

Lagi berdasarkan keterangan psikolog, alat ukur seperti yang digunakan dalam assessment online sebaiknya dijadikan referensi dalam sebuah proses seleksi dan bukan sebagai eliminator. Alat ukur kuantitatif dan kualitatif sama-sama memiliki kekurangan, sehingga untuk dapat mencapai hasil optimum sebuah psikotes, maka sedapat mungkin alat ukur kuantitatif dan kualitatif digunakan secara bersamaan sebelum diambil keputusan akhir.

Sampai tahap ini, maka patut untuk direnungkan kembali jawaban terhadap pertanyaan apakah telah tepat guna dan berhasil guna belanja 2,3 miliar rupiah yang dilakukan instansi LPDP saat LPDP sepertinya sulit untuk dapat memastikan bahwa pendaftar sendirilah yang benar-benar mengerjakan sendiri tes dan tanpa sarana bantu, serta alat ukur yang digunakan belum memenuhi kondisi ideal sebuah psikotes?

3. LPDP menetapkan skor minimum 575 (quantitative) bagi setiap peserta untuk dapat lolos ke tahapan berikutnya yaitu seleksi substansi. Dengan demikian kandidat yang memiliki kriteria yang "sesuai" menurut LPDP adalah mereka yang memiliki nilai 575. Penetapan sebuah batas nilai minimal adalah hal yang memang selayaknya dilakukan oleh sebuah penyelenggara tes. Namun demikian, pada konteks ini, dimana "ujian" yang diberikan kepada peserta terbatas pada nilai dan value, maka perlu dipertanyakan apakah 575 itu? Seberapa besar relevansinya dengan kemampuan dari para pendaftar untuk dapat menyelesaikan studinya?

4. Sebagaimana yang telah disampaikan diatas, pernyataan yang diajukan kepada para peserta di tes 15FQ+ maupun VMI adalah pertanyaan seputar nilai dan kepribadian. Mengapa tes yang menyangkut kemampuan intelejensia (IQ, logika, kreativitas), yang notabene masuk dalam ruang lingkup psikotes, misalnya tes wartegg, tes pauli, IQ test, tidak diberikan kepada para pendaftar BPI sebelum akhirnya diputuskan lolos atau tidak lolos? Apakah values & motivesmutlak menjadi satu-satunya hal yang penting bagi LPDP untuk meloloskan peserta? Padahal, dalam konteks beasiswa untuk studi jenjang magister dan/atau doktoral, bukankah mengetahui kemampuan intelijensia merupakan hal penting?

Kembali kami sampaikan, tulisan ini berusaha mengajak para pembaca, terlepas dari status awardee, alumni, atau instansi LPDP untuk, secara objektif dan berdasarkan keilmuan psikologi, merenungkan kembali penggunaan sistem assessment online yang dilaksanakan dengan bebas kontrol dan hasilnya menjadi eliminating factor.

PRO dan KONTRA

1. Efisiensi

Saat memulai gerakan ini, kami juga berusaha untuk memahami perspektif LPDP hingga menggunakan assessment online. Banyaknya pendaftar, lokasi domisili pendaftar, efisiensi anggaran, efektivitas menyaring jumlah peserta, dan lain-lain mungkin merupakan hal-hal yang menjadi pertimbangan digunakannya assessment online untuk menggugurkan peserta. Namun, jika dipikirkan secara lebih mendalam, apakah alasan-alasan tersebut sebanding dengan potential lossyang akan diterima LPDP? 

Kita semua mengetahui bahwa belanja utama dari LPDP adalah biaya studi para awardee, sehingga patutlah jika dalam menyelenggarakan seleksi, LPDP menggunakan sebuah sistem yang memiliki resiko seminimal mungkin. Salah seorang psikolog yang kami wawancarai mengatakan bahwa efisiensi dalam menyelenggarakan seleksi harus tetap diletakkan pada hakikatnya, yaitu pengurangan effort/cost tanpa memberikan resiko pada tercapainya optimum output.

Kedua, sebagai sebuah pelaksana "pertandingan", merupakan sebuah kewajiban bagi LPDP untuk memiliki sistem pengaman yang dapat memastikan terciptanya kondisi fairnessbagi seluruh peserta. Analoginya adalah, jika LPDP merupakan panitia penyelenggara kompetisi pertandingan sepakbola U-19, maka LPDP harus mampu memastikan bahwa seluruh peserta kompetisi tidak berumur lebih dari 19 tahun. 

Jika tidak ada mekanisme dimaksud dan pendaftaran dilaksanakan dalam situasi bebas kontrol, misalnya tiap peserta dapat mendaftar secara online tanpa perlu verifikasi KTP dan bertatap muka, maka celah penyimpangan akan terbuka dan mencederai hak-hak para peserta lain yang benar berumur dibawah 19 tahun. Dalam konteks ini apakah alasan "mengurangi pengeluaran membayar verifikator untuk efisiensi" dapat diterima? Bagaimanakah integritas dari kompetisi yang demikian?

2. Argumentatum ad populum

Kami sedikit banyak mengetahui bahwa assessment online memang digunakan juga dalam seleksi-seleksi lainnya, misalnya seleksi calon pegawai. Kami sangat mengharapkan informasi dari para pembaca, apakah assessment onlinedimaksud juga dikerjakan oleh peserta tidak dalam sebuah venueyang terkontrol? Berkaca pada pelaksanaan tes CPNS 2017 ataupun tes calon hakim, sejauh pengetahuan kami, seluruh peserta dipanggil dan dikumpulkan dalam sebuah tempat tertentu sehingga pelaksanaannya terkontrol oleh panitia penyelenggara.

Selain itu, terlepas dari seberapa sering assessment onlinetelah digunakan, kami ingin mendapatkan analisis dari para pembaca mengenai tingkat validitas sebuah tes yang dikerjakan oleh peserta tidak dalam medium terkontrol dan menjadi faktor eliminasi. Adapun hal ini menurut kami penting untuk dapat menghindari sesat pikir (logical fallacy) argumentatum ad populumyaitu menganggap sebuah hal benar karena hal tersebut lazim atau banyak terjadi dimana-mana.

3. Reciprocity vs Prudentiality

Merespon beberapa pendapat publik bahwa assessment online adalah lumrah adanya untuk menyeleksi tenaga kerja, kami meyakini bahwa menyeleksi calon penerima beasiswa tidak dapat dipersamakan dengan menyeleksi calon tenaga kerja. Level of prudentiality pelaksana seleksi beasiswa seharusnya lebih tinggi dibandingkan pelaksana seleksi tenaga kerja. Mengapa?

Pemberian beasiswa, terlebih dari lembaga publik yang tidak memiliki "kontrak kerja" seperti LPDP, bersifat satu arah. Artinya arus benefitmengalir lebih kepada awardee dan tidak sebaliknya (tidak resiprokal). Tidak ada benefit langsung yang akan diterima oleh LPDP saat mengeluarkan uang untuk membiayai studi awardee. 

Ya betul, awardee tentu akan memberikan benefit bagi LPDP namun tidak bersifat langsung dan tidak dapat diprediksi. Contohnya saat awardee kembali ke Indonesia dan bekerja membantu LPDP untuk melakukan pengelolaan dana sehingga imbal hasilnya menjadi lebih besar dan dapat membiayai lebih banyak awardee. Betul sekali, tapi apakah hal ini pasti terjadi? Dengan sifat yang demikian, maka memberikan beasiswa kepada seseorang tentu harus dilaksanakan dengan tingkat prudentialityyang sangat tinggi, kecuali memang beasiswa dikhususkan untuk golongan ekonomi pra-sejahtera dimana faktor kekuatan ekonomi pendaftar menjadi yang utama.

Sedangkan dalam konteks seleksi tenaga kerja, arus benefit berjalan 2 arah dari pemberi kerja kepada pekerja, dan sebaliknya (resiprokal). Benefitpemberi kerja kepada pekerja adalah gaji, tunjangan, asuransi, dan lain-lain. Sedangkan, dari pekerja kepada pemberi kerja adalah waktu dan ilmu untuk memajukan perusahaan. 

Penghargaan pada aspek-aspek spesifik dari para pendaftar tenaga kerja (mungkin) dapat lebih rendah dari para pendaftar beasiswa karena pasca seleksi terdapat mekanisme untuk memastikan arus benefit yang 2 arah ini akan terus berjalan, misalnya pegawai mendapatkan pelatihan, dapat dimutasi dan lain-lain sehingga pendapatan perusahaan akan lebih maksimal.

Maka, demi niat luhur penggunaan dana publik yang tepat guna, bukankah baik jika LPDP memilih sebuah mekanisme seleksi yang memiliki tingkat certainty yang tinggi?

PENUTUP

Akhir kata, kami ingin menyampaikan bahwa tulisan ini dibuat tidak untuk menjatuhkan kredibilitas LPDP. Kami juga tidak membahas sama sekali kualitas awardeeLPDP dari sejak kami memulai gerakan ini.

Kamipun yakin selama ini LPDP telah berusaha keras untuk membangun sebuah sistem seleksi yang baik untuk melahirkan calon pemimpin bangsa di masa depan dan kami sangat mengapresiasi hal tersebut.

Apa yang kami lakukan dilandaskan harapan untuk memberikan kebaikan bagi banyak pihak. Ini hanya sebagian kecil tindakan nyata untuk memberi masukan terhadap proses seleksi beasiswa yang lebih baik lagi di kemudian hari. Kami merasa ini bukanlah saatnya untuk menaruh curiga kepada sesama, karena kami yakin seluruh awardee LPDP, direksi LPDP dan jajarannya, dan seluruh rakyat Indonesia pasti memiliki mimpi yang sama dengan kami untuk terus membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.

Terlepas dari "titel" uang yang dibelanjakan LPDP, yang secara definitif memang bukan penerimaan negara dari pajak, namun tetap uang tersebut muncul dari pengelolaan dana abadi yang bersumber dari pajak. Hal tersebut bukanlah bahasan utama dari isu yang sedang mengemuka, melainkan akuntabilitas penggunaan dana bernilai triliunan.

Menyampaikan ide dan masukan terhadap sebuah hal untuk perbaikan adalah tanggungjawab kita bersama terlepas dari status kita masing-masing. Masukan dan komentar objektif berdasarkan keilmuan psikologi sangat diharapkan dari seluruh pihak terhadap tulisan ini, agar perihal ini dapat dianalisa dengan tepat. Kami percaya bahwa tidak ada salah dan benar dalam memberikan pendapat selama dilandaskan pada dasar keilmuan dan disampaikan dengan cara dan tujuan yang baik.

Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun