Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasihat Seorang Ibu Mampu Menggetarkan Moh Roem SH

22 Desember 2017   15:26 Diperbarui: 22 Desember 2017   16:10 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mogimogy.blogspot.com

Moh. Roem S.H. (1908 - 1983), penulis artikel ini, adalah seorang politikus Indonesia, tokoh Masjumi yang aktif dalam perundingan Linggajati, Roem-Roijen, Renville, Konferensi Meja Bundar dan sebagainya.

Empat kali ia menjadi menteri antara 1946 - 1953 dan bahkan pernah menjadi wakil perdana menteri (1956 -1957).

Setelah satu setengah bulan ditahan di Jakarta, pada Maret 1962 kami berenam dimasukkan ke penjara Madiun oleh Presiden Soekarno.

Enam orang itu adalah Sutan Sjahrir, Prawoto, Sultan Hamid, Subadio, Anak Agung Gde Agung, dan saya.

Alasannya karena menurut "logika revolusi" harus ditarik garis tegas antara kawan dan lawan. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi!

Empat tahun lebih kami hidup dalam tahanan. Pada awal tahun kedua, jumlah kami bertambah dengan Yunan Nasution, Mochtar Lubis, J.H. Princen, Isa Ansjari, E.Z. Muttaqien, dan Muchtar Ghazali.


Dari enam orang pertama yang dikumpulkan dalam satu blok, saat itu hanya Subadio yang masih bujangan.

Saya perhatikan ia yang paling lambat tidur. Tadinya, saya kira ini  kebiasaannya sebagai bujangan.

Namun, setelah kami bertambah akrab, Subadio bercerita bahwa ia dipesan oleh ibunya agar jangan tidur sebelum pukul 24.00.

Andaikata ia tertidur, setelah pukul 24.00 ia bangun sebentar dan pergi ke halaman di luar kamar tidur untuk memohon kepada Tuhan agar dosa Soekarno dimaafkan.

Subadio menceritakannya sambil lalu saja, tetapi saya mengingatnya dan sering  merenungkannya. Saya tidak pernah berkomentar karena merasa tidak pantas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun