Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebakaran Pasar

11 Januari 2018   16:45 Diperbarui: 11 Januari 2018   16:54 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tengah hari di bulan juni tak pernah mau bersahabat. Raut pengendara motor semakin tertekuk mendapati hitungan lampu merah masih diangka 54. Di trotoar, beberapa orang karyawan pabrik terlihat gelisah dan serempak menutupi wajah masing-masing dengan tangan. Beberapa lainnya mengumpat, menyesali keputusan keluar dari ruang kerja yang nyaman dan sejuk. Raut mereka kusut, keringat mengucur dari pelipis, ketiak dan punggung. Panas terik telah berhasil mengubah aura wajah dan emosional seseorang.

 Dari arah selatan, segerombolan gadis berpakaian kerja terlihat melangkah ke luar gerbang salah satu dealer mobil ternama. Langkah mereka seperti diburu ketika melewati gerobakku yang sedari beberapa hari lalu masih terparkir di gang sebelah dealer. Ada yang berusaha menahan napas dan seolah tak mencium bau apa-apa, ada yang tak segan-segan menutup hidung dengan 2 tangan disertai bermacam umpatan, "Ugh!", "Arrggh!" dan ada juga yang terlihat sekuat tenaga menahan muntah.

Aku tak heran, awal pertama aku mendorong gerobak itu pun begitu. Telur busuk bercampur dengan sambal kacang yang sudah basi, aroma susu basi, sayuran sisa, kaleng sarden, bungkus sate, botol minuman berenergi, pembalut wanita, tulang belulang ikan yang sudah mengendap berhari-hari komplit dengan lalat, dan segala macam sampah yang tak lain adalah dari mereka sendiri. Segala bau dan barang itu beradu menghasilkan aroma bacin, amis yang membuat orang susah menahan muntah. Awalnya aku butuh kain atau masker bekas untuk menutup penciumanku. Namun lambat laun, bau-bau itu dengan sendirinya akrab melewati bulu-bulu hidungku. 

Kubiarkan orang-orang memandang jijik gerobak usang itu. Sungguh benar tak usah heran, pemandangan seperti itu sudah kunikmati hampir belasan tahun lamanya. Lebih tepatnya, 11 tahun 5 bulan, jika aku tak salah hitung. Manusia-manusia penghasil sampah tapi anti sampah. Beuhhh! Munafik!

Pekerjaanku itu bermula dari kematian Kang Kelik, orang yang merawatku sejak kecil dan - yang kutahu - sebagai satu-satunya keluargaku. Sebelumnya aku tak pernah menyentuh sampah, lagi pula Kang Kelik lebih suka melihatku pergi ke Taman Belajar Mandiri milik Bu Etik dibanding harus bergelut dengan tumpukan bau. Kang kelik bilang," kelak aku akan menjadi orang". Mungkin Ia pikir aku ini monyet yang belum bisa menghasilkan apa-apa dan hanya bisa berteriak menadah makan ketika lapar. Tapi biarlah, bagaimanapun ia kerap membawa bingkisan berisi nasi dan paha ayam yang masih utuh. Katanya, sisa dari restoran cepat saji dekat perbatasan.

Lalu, Kang kelik pergi selama-lamanya. Seorang putra pengacara terpandang milik kota ini telah menabrakkan sedan merahnya ke tubuh kurus kering itu. Kata orang, Ia terpental 15 meter dengan darah melambah-lambah dan mati di tempat. Umurku saat itu baru 8 tahun.

Semenjak itulah aku menjadi tukang sampah untuk menyambung hidup. Awalnya kupikir aku hanya butuh makan dan tak butuh Kang Kelik, tapi sesekali aku pernah benar merindukannya.

Oh ya, orang biasa memanggilku Popo. Kulitku yang gosong mengingatkan mereka dengan tokoh Mr. Popo di serial kartun Dragon Ballz. Sebenarnya nama asliku Bagus. Bukan aku sedang memuji, tapi memang namaku benar Bagus, BE-A-GE-US. Entah dari mana nama itu, yang jelas hanya Kang Kelik selalu memanggilku Bagus, dan hingga dia mati aku lupa menanyakan siapa gerangangan yang memberikan nama itu. Aku bahkan belum tahu asal usulku sebenarnya. Rencana, aku akan tanya ketika umurku menginjak 9 tahun, tapi Kang Kelik lebih dulu mati. Tau begitu aku akan mengubah rencanaku.

Kupikir, pekerjaanku itu akan segera berakhir. Bulan lalu Bang Jo - pemilik warung Bakso Kondang- menawariku pekerjaan. Itu hal yang sudah lama aku impi-impikan. Warung Kondang tenar di antara kami, para pekerja kasar. Biarpun sekadar warung namun -yang kudengar dari beberapa orang- pendapatannya mencapati 5-6 juta rupiah per hari. Karyawannya berjumlah 15, gaji mereka bekisar antara 25 ribu hingga 50 ribu rupiah per hari, tergantung ramai atau sepi. 

Sudah girang bukan kepalang aku kala itu. Mimpi untuk menjauhi sampah dan mendapat gawean yang lebih layak sudah di depan mata. Setidaknya aku tak lagi bergelut dengan bau. Setelahnya, akan kuberanikan diri untuk menyapa Yian -anak penjaga pasar- secara langsung. Selama ini Aku tak pernah membiarkan Yian mengenal tubuhku yang kotor dan bau. Dan kelak, saat Yian sudah menjadi Istriku, akan kuceritakan semua. Aku yakin, Dia pasti mau mengerti.

Belum genap seminggu aku bermimpi, pasar di mana warung itu berdiri sudah habis dilahap api. Bang Jo yang kala itu berlari panik hendak menyelamatkan harta bendanya mati tertimpa kayu panas sehari setelah bermalam di rumah sakit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun