Oleh: Syamsul Yakin(Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Hazimul Fikri Addien (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Ketika kita membicarakan hubungan antara agama dan negara, banyak yang langsung membayangkan konflik, pemisahan, atau bahkan dominasi satu atas yang lain. Tapi bagi seorang pemikir besar seperti Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M), hubungan antara keduanya justru ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Ibnu Taimiyah bukan hanya dikenal sebagai ulama yang tegas dan tajam dalam berpikir, tapi juga sebagai salah satu pemikir politik Islam paling relevan hingga saat ini. Pemikirannya menjadi inspirasi berbagai gerakan pembaruan, terutama karena keberaniannya dalam memadukan antara kekuatan akal dan kekuatan wahyu.
Akal dan Wahyu: Harus Sejalan
Salah satu prinsip paling terkenal yang ia kemukakan adalah: "Pendapat akal harus sesuai dengan wahyu" (muwaffaqat sharih al-ma'qul li sharih al-manqul). Dalam pandangannya, semua aktivitas manusia -- termasuk politik -- semestinya berpijak pada dua fondasi ini. Jika akal menyimpang dari wahyu, maka akan lahir kebijakan yang tidak adil. Jika wahyu diabaikan, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa arah moral.
Negara Itu Kewajiban Agama
Bagi Ibnu Taimiyah, membangun negara bukan sekadar urusan duniawi, tapi bagian dari kewajiban agama. Negara adalah alat untuk menciptakan keadilan, menegakkan syariat, dan mewujudkan kesejahteraan umat. Bahkan ia menegaskan bahwa "menegakkan pemerintahan adalah perintah agama itu sendiri."
Tak berhenti di situ, Ibnu Taimiyah bahkan menyatakan bahwa lebih baik hidup di bawah pemimpin zalim daripada hidup tanpa pemimpin sama sekali. Ungkapan terkenalnya, "Enam puluh tahun di bawah pemimpin yang zalim masih lebih baik daripada semalam tanpa kepemimpinan", menunjukkan betapa pentingnya peran negara dalam menjaga stabilitas masyarakat.
Kritik Tajam terhadap Pemimpin Korup
Meskipun mengakui pentingnya negara, bukan berarti Ibnu Taimiyah membenarkan semua bentuk kekuasaan. Ia justru sangat keras dalam mengkritik penguasa yang korup dan tidak bermoral. Baginya, pemimpin seperti itu tidak layak ditaati karena tidak lagi memiliki dasar keilmuan maupun legitimasi spiritual. Ia percaya bahwa kekuasaan tanpa wahyu adalah kekuasaan yang kehilangan akal.
Bukan Kekhalifahan yang Penting, Tapi Fungsi Negara