"Ya ini sudah jalan hidup saya, Mas. Saya udah sayang sama lapak ini, sama pelanggan. Meski capek, tapi kalau dagangan laku, itu bikin bahagia,"
Pernah nggak kalian ketemu sama pedagang yang bikin jengkel? Yang suka naikin harga seenaknya, atau melebih-lebihkan kualitas barang yang dijual? Di zaman sekarang, makin sulit membedakan mana pedagang yang jujur dan mana yang sekadar pintar merayu. Tipuan bisa datang dari mana saja baik dari toko online di e-commerce maupun dari pedagang kaki lima atau pasar tradisional.
Namun jangan salah, di tengah maraknya kecurangan dan sekadar pintar merayu, masih banyak pedagang yang tetap memegang nilai kejujuran. Mereka berdagang bukan hanya demi keuntungan semata, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan pelanggan. Salah satunya adalah Bu Astuti, seorang pedagang pasar tradisional yang sudah bertahun-tahun mengais rezeki di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Saya mengenal Bu Astuti sejak sering mampir ke lapaknya setiap kali pulang ke kampung halaman. Lapaknya memang tidak besar, tetapi selalu ramai pengunjung. Senyumnya ramah, pelayanannya cepat, dan yang paling penting beliau selalu berkata jujur tentang kualitas barang yang dijualnya. Dari situ, saya tertarik mengenal lebih jauh siapa sebenarnya sosok di balik lapak yang sederhana ini. Dalam artikel ini, saya ingin membagikan kisah tentang perjuangan, kejujuran, dan ketulusan seorang ibu yang bertahan di tengah persaingan pasar yang makin sengit.
Bu Astuti bukanlah pendiri lapaknya sendiri. Beliau meneruskan usaha yang dulu dirintis oleh orang tuanya.
"Kalau ini tuh, jualan saya tuh kan neruskan peninggalan orang tua. Jadi, nggak dari pertama,"Â ucapnya pelan, mengenang masa lalu.
Sebagai anak sulung, beliau merasa bertanggung jawab melanjutkan usaha orang tuanya yang telah memberikan penghidupan bagi keluarganya selama bertahun-tahun. "Sayang kalau nggak ada yang nerusin," tambahnya.
Menurut Bu Astuti, kondisi Pasar Beringharjo dulu sangat berbeda dengan sekarang. Dulu pasar hanya terdiri dari bangunan satu lantai dengan susunan kios yang masih semrawut. "Dulu pasarnya nggak begini, Mas. Ya, di bawah itu. Belum bertingkat tiga kayak sekarang ini,"Â katanya. Beliau mengalami sendiri proses renovasi pasar hingga menjadi bangunan tiga lantai yang lebih tertata dan modern seperti sekarang.
Kini, kios-kios dikelompokkan berdasarkan jenis barang. "Di depan batik dan baju-baju, di belakang sayur, terus di bawah ada ikan. Jadi nggak campur-campur, lebih enak pembeli juga nyarinya," jelasnya. Penataan ini memudahkan pembeli untuk menemukan kebutuhan mereka dan menciptakan kenyamanan berbelanja.
Bu Astuti bersyukur karena lapak yang ditempatinya adalah milik pribadi. "Kalau tempat saya ini udah punya sendiri. Cuma bayar karcis aja per bulan," tuturnya. Biaya karcis yang dibayarnya sebesar Rp300.000 per bulan, jauh lebih ringan dibandingkan dengan pedagang lain yang menyewa tempat. "Kalau yang nyewa bisa sampai Rp1,5 juta per bulan. Tapi katanya sih udah nggak bayar karcis lagi," tambahnya.