Oleh ; M. Ziad MustafidÂ
Ketika  pertama kali menginjakkan kaki sebagai mahasiswa baru di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram pada tahun 2021, saya membawa semangat pencarian intelektual yang besar, namun masih mentah. Dalam lautan literatur Islam yang tersedia, buku Mengislamkan Jawa karya M. C. Ricklefs menjadi bacaan pertama yang membuka cakrawala berpikir saya tentang Islam di tanah air. Buku ini tidak hanya memperkenalkan sejarah Islamisasi di Jawa, tetapi juga menyuguhkan kerangka berpikir yang kritis terhadap hubungan antara agama, budaya, dan kekuasaan.Ricklefs, seorang sejarawan asal Australia, menolak pandangan simplistis tentang proses Islamisasi sebagai suatu peristiwa tunggal dan mutlak. Ia justru menampilkan dinamika sosial-politik yang kompleks, dengan menekankan bahwa Islam hadir di Jawa bukan dengan pemaksaan atau penyeragaman, melainkan melalui proses sintesis mistik  suatu bentuk integrasi antara Islam normatif, tradisi Hindu-Buddha, dan spiritualitas lokal. Konsep ini menjadi benang merah dalam buku Mystic Synthesis in Java (2006), yang kemudian menjadi salah satu sumber utama dalam versi adaptasi berbahasa Indonesia: Mengislamkan Jawa.
Membaca buku ini di awal masa kuliah adalah sebuah pengalaman intelektual yang transformatif. Saya mulai memahami bahwa Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks lokalnya. Sebagaimana ditulis oleh Ricklefs, Islam di Jawa dan lebih luas lagi di Nusantara  tidak datang dalam ruang hampa, melainkan berdialektika dengan sistem sosial dan budaya setempat. Pendekatan historis yang digunakan Ricklefs membekali saya dengan kemampuan untuk membaca sejarah Islam tidak hanya dari sumber tekstual Arab, tetapi juga dari sumber-sumber lokal seperti babad, serat, dan manuskrip pesantren.
Dalam konteks akademik, buku ini mengajarkan saya pentingnya memosisikan Islam sebagai fenomena historis sekaligus spiritual. Di satu sisi, Islam adalah agama wahyu yang membawa nilai-nilai universal. Namun di sisi lain, penerimaan dan internalisasi Islam di setiap komunitas selalu melewati proses kontekstualisasi yang rumit. Hal ini sejalan dengan pemikiran Azyumardi Azra tentang "Islam lokal", atau yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai sosiologisasi agama, yakni membaca agama dari realitas sosialnya.
Buku Mengislamkan Jawa juga menjadi batu loncatan awal bagi ketertarikan saya terhadap studi Islam Nusantara. Dari sana saya mulai menelusuri gagasan-gagasan lain: dari Harun Nasution, Nurcholish Madjid, hingga Ulil Abshar Abdalla dan tokoh-tokoh pembaru Islam Indonesia kontemporer. Kesadaran bahwa Islam Indonesia memiliki akar dan otonomi keilmuannya sendiri adalah sesuatu yang lahir dari pembacaan awal terhadap buku ini.
Sebagai mahasiswa tafsir yang kini menapaki tahun-tahun akhir perkuliahan, saya menengok ke belakang dan menyadari bahwa buku Mengislamkan Jawa bukan sekadar bacaan awal, tetapi fondasi intelektual yang membentuk cara saya memahami Islam dalam wajah kebudayaan Indonesia. Buku ini tidak hanya mengajarkan sejarah, tetapi juga menyadarkan bahwa memahami Islam di Nusantara adalah bagian dari merawat identitas dan warisan keilmuan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI