Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Yang Lebih Penting dari Menyantuni Anak Yatim adalah Menjaga Perasaan Mereka

21 Mei 2019   00:07 Diperbarui: 21 Mei 2019   00:35 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: kitabisa.com

Beberapa kali saya melihat, ketika para anak dijejerkan dalam lingkaran tersendiri di ruangan dan kumpulan orang-orang yang tentu saja tidak bersahabat dengan habitus mereka. Diminta untuk naik kepanggung, berjejer, dipandangi oleh semua mata dari kalangan yang bukan yatim. Lalu dibagikan santunan, amplop yang tak tahu berapa isinya.

Beberapa di antara mereka, ada yang bahkan begitu merasa malu untuk naik kepanggung. Kecuali karena "dibujuk" yang tak lain mirip "pemaksaan halus" oleh panitia, untuk bisa tetap menjaga citra agar kebijaksanaan elit yang maha pemberi itu bisa tersalurkan sesuai agenda acara tanpa ada kendala.

Setelah itu, tak lupa, foto-foto bersama para elit pemberi. Anda tak bisa mengharapkan sebuah senyuman bahagia dari mereka, ketika mereka harus berdiri di tengah-tengah orang dewasa yang berbaju mewah, sembari menatap kamera yang  menghadap ke dirinya.

Ada suatu kesenjangan dalam tatapan mata antara mereka dengan para elit yang berdiri disampingnya. Sebuah tatapan rasa malu bersanding dengan tatapan wajah bahagia sebagai seorang manusia yang barangkali menganggap telah melakukan kewajibannya untuk mensyukuri kenikmatan berlebih yang ia punya.

Saya pulang. Fenomena demikian selalu terngiang-ngiang dalam kepala saya. Saya pikir, ada yang lebih penting dari sekadar menyantuni anak yatim, yakni dengan menjaga perasaan mereka. Hal-hal seperti ini yang selalu luput dalam ruang-ruang kebijaksanaan para elit yang di bawah ke ruang publik.

Hadis Nabi, yang pernah berkata "Berilah dengan tangan kananmu tanpa harus diketahui oleh tangan kirimu" seperti sebuah penanda. Bahwa kebijaksanaan kemanusiaan itu justrunya mestinya berada dalam ruang yang tertutup, bukan dalam ruang publik. Saya merasakan, bahwa hadis itu, tidak sekadar untuk mengurai sisi keikhlasan terdalam bagi si pemberi, terlebih pada bagaimana manusia yang berlebih, belajar menjaga perasaan mereka yang ia cap berkekurangan.

Selama ada hirarki, selama tak ada kesetaraan manusia, maka kebijaksanaan seperti ini akan selalu berakhir dalam batas demikian. Formalitas atau bahkan citra, yang menjadi batasnya. Sisanya adalah penindasan eksistensial yang merongsok hingga ke ubun-ubun psikologis bagi si penerima. Penyantunan pada kadar tertentu bisa bermakna ledekan kenyataan bagi pihak yang terobjektifikasi oleh politik belas kasih tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun