Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PPGJ dan Guru Transformatif, Antara Harapan atau Utopia?

3 September 2018   20:10 Diperbarui: 3 September 2018   20:25 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatihan Guru. Pemerintah dan LSM berperan penting dalam perbaikan kualitas pendidikan lewat peningkatan kualitas guru. Foto: dok. pribadi.

Berangkat dari keperihatinan pemerintah akan kualitas guru yang masih rendah, menjadi alasan dicetuskannya PPGJ (Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan) yang mulai berjalan tahun ini. PPGJ tidak hanya merupakan pengejawantahan dari UU 14 Tahun 2005 tentang Guru/Dosen atau PP No. 74 Tahun 2008 tetang profesi guru, tapi juga sebagai kebijakan pengganti atas  PLPG (Pendidikan & Latihan Profesi Guru) yang telah berjalan sejak 2007 lalu.

Alasan yang mendasari penggantian ini tiada lain bahwa output dari PLPG pada kenyataannya belum mampu memenuhi harapan pemerintah dalam melahirkan guru transformatif. Hasil ujian kompetensi guru di tahun-tahun sebelumnya masih terlalu rendah, bahkan banyak guru yang dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi. Disinyalir konsep PLPG yang telah berjalan belum maksimal dalam mendongkrak kompetensi guru. Konsekuensinya PLPG yang hanya dikelola 11 hari harus diganti dengan PPG yang direncanakan berlangsung selama 6 bulan.

Ada upaya untuk mengidentifikasi kegagalan PLPG sebelumnya disebabkan oleh faktor pendeknya durasi pelatihan. Sehingga solusinya pun sederhana;  menambah durasi waktu dan pemadatan komponen pelatihan  yang diprogramkan untuk guru.

Seperti dengan kebijakan FDS (Full Days School) sebelumnya, di mata Mendikbud sepertinya segala persoalan pendidikan yang terjadi, baik yang diidentifikasi berupa rendahnya kualitas siswa maupun guru, maka jawabannya adalah dengan menambah durasi waktu pelatihan/pembelajaran. Padahal pendidikan terlalu sederhana ketika direlokasi dalam perdebatan "panjang-pendeknya" waktu belajar yang ditimpalikan sebagai pokok persoalan. Adagium yang dikatakan  Freire (pakar pedagogi kritis) mestinya bisa menjadi koreksi, bahwa jam pelajaran yang panjang dalam proses belajar tidak akan pernah bisa menjanjikan keajaiban.

Kita seperti mencium ada aroma kepanikan di tingkat pengambil kebijakan dalam membaca kegagalan PLPG sebelumnya. Kegagalan dalam menciptakan lahirnya keajaiban, ketika diperhadapkan pada kenyataan antara tuntutan perbaikan kualitas guru yang mendesak berbenturan dengan fakta kualitas guru itu sendiri yang pada kenyataannya masih rendah bahkan sejak 11 tahun sekalipun PLPG telah dilaksanakan sebelum dihentikan (2017).

Akhirnya, kepanikan ini hanya bisa memicu lahirnya ide-ide lama yang gagal diperbaharui secara kritis. Upaya pemerintah untuk mendongkrak kompetensi guru secara cepat yang menjadi tujuan dari projek PPGJ ini pada kenyataannya juga menyisakan ruang-ruang yang tak kalah bermasalahnya. Ia seperti mengulang persoalan laten yang ada pada konsep PLPG sebelumnya.

Ada kesan bahwa kenyataannya projek pencerdasan guru ini lewat PPG dalam jabatan khususnya, tidak sedikit berakhir layaknya---meminjam istilah Pujiriyanto---sebagai projek kontainerisasi pengetahuan bagi guru dari pemerintah. Guru-guru diidentifikasi sebagai objek massal yang akan dibentuk dan ditindihkan pengetahuan dari atas  secara paksa dalam waktu yang panjang, lewat kurikulum dan agenda pelatihan yang dirumuskan sepihak oleh pemerintah.

Di tingkat lapangan, tidak sedikit guru-guru 'menjerit' dengan tuntutan kepadatan penugasan PPG khususnya penugasan daring yang selama ini telah berjalan. Setiap guru dipatok dengan berbagai bacaan yang padat diikuti dengan setumpuk tugas-tugas administratif berserta ujian-ujian di setiap kompetensi dasarnya. Seolah menafikan bahwa guru juga punya beban mengajar di sekolah yang tak sedikit.

Saat ini di tahun 2018, ada sekitar 26.358  guru yang disasar oleh program ini yang dibagi dalam 3 gelombang. Dengan sistem pembelajaran terkategori, dimulai dari kuliah dan penugasan daring, workshop, hingga praktik lapangan nantinya.

Seperti halnya umumnya mahasiswa, para peserta khususnya PPG dalam jabatan ini  wajib menuntaskan 24 SKS sebagai syarat kelulusan untuk nantinya bisa mengikuti ujian sertifikasi. Namun, begitulah, kepadatan ini tetap masih menyisakan ruang ketidakpastian untuk menerka bahwa proses yang panjang sekalipun tidak serta merta memberikan jaminan bahwa harapan lahirnya guru transformatif dari proses PPG ini dapat terwujud.

Sebab dari awal konsep ini telah terbentur pada pertanyaan dasar, bahwa gagasan tentang "guru transformatif" sebenarnya tidak memiliki hubungan kausalitas dengan pelaksanaan projek pelatihan yang didesain dalam waktu lama dengan setumpuk kepadatan penugasan. Sebab lagi-lagi, model pelatihan formil demikian, ujung-ujungnya tidak bisa keluar dari model pelatihan yang bersifat instruksional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun