Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoal Kualitas Buku Ajar Sekolah

26 Maret 2018   09:11 Diperbarui: 26 Maret 2018   09:43 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: geotimes.co.id

Buku adalah jendela dunia. Dari sanalah pelajar membuka mata, pikiran untuk memahami kenyataan. Namun apa jadinya ketika buku yang dianggap jendela dunia itu justru berpeluh dengan labirin yang berisi konten gelap? Beberapa bulan dan tahun belakangan ini, ramai terjadi penarikan buku ajar sekolah lantaran beberapa kontennya tidak memenuhi standar kualitas yang memadai.

Ada yang berisi konten pornografi, ada yang terkesan tersusupi dengan paham intoleran (SARA), hingga ada yang tidak memenuhi kaidah ilmiah. Mirisnya, beberapa di antara buku tersebut justru sebagiannya ada yang masuk kategori BSE, yang berarti terverifikasi lewat BSNP dan Pusat Kurikulum & Perbukuan Kemendikbud.

Tahun 2013 ditemukan cerita bermuatan pornografi terselip di buku bacaan SD, 2014 ditemukan buku penjas SMA mengajarkan tips berpacaran, di tempat lain ditahun yang sama juga ditemukan buku yang mendiskreditkan ras tertentu.

Masuk 2015, ditemukan buku agama mengandung paham intoleran, ada ajakan memperbolehkan anak mmbunuh orang yang ia sebut kafir. Masuk 2016, muncul lagi buku yang tak memenuhi kaidah ilmiah yang memantik kontroversi, Nabi Muhammad ditulis nabi ke-13. Tak cukup dengan itu, ditempat lain ditemukan buku pelajaran TK yang memuat kata-kata tabu: bom, bantai, yang diasosiakan secara keliru dengan jihad. Miris.

Dan terakhir yang paling heboh 2017 lalu. Tidak hanya ditemukan lagi buku pelajaran berkonten pornografi di Bogor, kasus buku pelajaran yang tidak memenuhi kadiah ilmiah juga ditemukan lagi. Salah satunya adalah buku yang memuat informasi keliru dengan menyebut Yerussalem adalah ibukota Israel. Yang bahkan membuat Pemkot Makassar lewat Dinas Pendidikan Kota Makassar merespon dengan mengeluarkan surat edaran larangan penggunaan buku tersebut.

Semua yang saya sebutkan di atas seluruhnya diadakan penarikan oleh pihak penerbit setelah mendapat kecaman dari masyarakat, KPA, pemerhati pendidikan, dan pemerintah sendiri lewat Kemendikbud.


Dari kualitas penulis/penerbit hingga lemahnya kontrol verifikasi pemerintah dan sekolah membuat keteledoran ini terus berlanjut. Beruntungnya bahwa kita masih mendapatkan sebagian masyarakat kita yang kritis. Hampir semua kasus seperti ini muncul berawal dari temuan orang tua murid.

Ketika pemerintah sigap mendorong peningkatan kualitas guru-guru dengan berbagai macam bentuk pelatihan, kita lupa bahwa buku yang menjadi sumber primer belajar siswa juga tak kalah bermasalahnya.

Ini bukan sekadar keteledoran sebenarnya, tapi juga menggambarkan kualitas buku-buku ajar sekolah kita yang memprihatinkan. Pengamatan penulis pada buku-buku sosial (non-sains), ada banyak konten informasi dalam buku ajar sekolah yang dominan hanya mengandalkan internet sebagai referensi.

Beberapa di antaranya dari gambar maupun narasi teks mengandalkan informasi-informasi internet yang justru sebagiannya bahkan ada yang berasal dari domain nonresmi seperti blogspoot dan wordpress. Dilema pengetahuan yang hanya berbasiskan internet (nonriset/ nonpublikasi ilmiah), membuat lalu lintas informasi bisa berseliweran tanpa bisa ditiru atau dikutip begitu saja lantaran validitasnya yang belum bisa dipastikan kebenarannya.

Dan itu seperti mengafirmasi, ketika salah satu pihak penerbit buku bermasalah itu (Yudhistira?) menghaturkan permohonan maaf atas bukunya, mengakui ketidaktahuannya (bahwa Yerussalem itu masih pro-kontra?) sembari menyebut bahwa informasi yang ia dapat itu bersumber dari internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun