Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Metafora Lobotomy dan Kita yang Sakit

3 Februari 2017   21:37 Diperbarui: 4 Februari 2017   09:16 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://theunboundedspirit.com/

Sekali lagi, saya berasumsi, menempatkan ini bukan dalam perkara moralitas yang melibatkan niat buruk pelaku. Tidak. Ini seperti kalau kita melihat kenyataan, bahwa ada tipikal orang yang kecepatan adrenalin berbicaranya lebih cepat ketimbang berpikirnya, apalagi untuk situasi materil yang memungkinkan terkondisikannya emosi yang tak tertata. Dan saya sendiri mempunyai teman yang seperti itu, dan kadang-kadang selalu minta maaf, ketika setelah ia berbicara dan baru ia pikirkan dan akhirnya merasa ada yang salah dengan yang ia ucapkan sebelumnya. Hehe. Sekali lagi kita mengesampingkan niat buruk pelaku.

Kalau kita meminjam analisa psikoanalisis Freudian, yang membagi kepribadian dalam tiga elemen; id, ego, dan superego. Potret buruk kebiasaan ini sebenarnya terbentuk dari relasi timpang antara superioritas id terhadap superego. Yang berangsur-angsur mengwajarkan, hingga membentuk apa yang kita sebut kebiasaan. Dan ketika kebiasaan itu lantas diukur dengan nilai-nilai yang menjadi wilayah superego, dan dinyatakan berbenturan, maka kebiasaan itu menjadi sesuatu yang dengan sendirinya dipahami buruk.

Artinya ketidakmampuan superego membendung dorongan-dorongan hasrat bawah sadar (id) itulah yang menguasai, menjadi ego. Saya menspesifikasi, bahwa hasrat ini tidak hanya mencakup hasrat bilogis, hasrat kekuasaan, dan juga hasrat-hasrat lainnya yang berwujud amarah. Amarah, pada hal-hal tertentu memiliki karakter sama dengan hasrat biologis, pada titik tertentu bisa membuat kita kehilangan unsur-unsur kesadaran, dan kelupaan akan nilai-nilai. Blunder? Entahlah…

Lobotomy phobia

Kalau blunder adalah penyakit para elit, maka dimasyarakat kita juga mengalami sejenis penyakit yang kita sebut phobia. Kalau Donal Trump terjangkit bakteri phobia Muslim. Kita juga mengalami sejenis sindrom phobia yang lain, yakni phobia komunis. Suatu bentuk phobia yang muncul dari gejala paranoid (halusinasi). Kita menyebut ini sebagai penyakit, sebab kita tak menemukan realitas materil dari sebab-sebab ketakutan yang melanda kita.

Di negara-negara tertentu di Eropa, praktik lobotomy juga digunakan untuk mengontrol penyakit dan gangguan-gangguan mental lainnya, baik yang berbentuk phobia, paranoid, maupun hal yang terkait skizopherania. Sains medis menganggap bahwa jenis penyakit phobia ini memang berpusat pada otak.

Lobotomy pada para phobia komunis, tentu saja ini hanyalah sebuah metafora kritik saya terhadap praktik phobia komunis yang melanda kita akhir-akhir ini. Suatu jenis phobia yang tidak muncul begitu saja, melainkan hadir lewat proses struktural politik yang berangsur-angsur yang disemai secara sistemik. Sehingga memungkinkan gejala ini muncul-tenggelam, meredup-merebak sesuai dengan kondisi-kondisi materil politik yang mengkondisikan. Celakanya, kita justru terkerangkeng dalam kesulitan-kesulitan pemanen untuk lepas dari jenis phobia ini.

Benar, bahwa secara medis, phobia adalah gejala yang bisa terjadi karena faktor trauma. Trauma PKI? Bisa saja. Namun itu bisa dikatakan berlebihan, ketika faktor sejarah yang multi-tafsir itu justru menjadi belenggu terus menerus. Menciptakan halusinasi ketakutan yang tak berkesudahan, yang ujung-ujungnya hanya menyuplai kontribusi destruktif bagi kehidupan bermasyarakat. Bahayanya, bahwa segala bentuk phobia yang berlebihan ini justru dapat menyebabkan fiksasi. Sejenis keterkuncian permanen pada ruang-ruang ketakutan itu sendiri. Dan  tentu  saja ini tidak sehat bagi perkembangn masyarakat yang dinamis.

Kita percaya, bahwa dalam kondisi normal manusia bisa melawan dan mengalahkan rasa takut dirinya akan apapun. Bukankah manusia berkuasa atas dirinya? Kata kaum eksistensialis. Begitupun, bahwa kita percaya, bahwa dalam kondisi apapun, ketika kewarasan mengalahkan ambisi dan amarah, maka manusia bisa melawan kebiasaan buruknya itu sendiri. Termasuk kebiasaan blunder.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun