Sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjelajahi, mengenal, dan menulis kembali kisah-kisah budaya lokal yang menjadi akar identitas bangsa. Salah satu pengalaman paling berkesan dalam perjalanan akademik dan batin saya adalah kunjungan ke Kampung Ulos Huta Raja, yang terletak di Desa Lumban Suhi-suhi, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Kampung ini bukan sekadar tempat, melainkan ruang hidup warisan budaya Batak Toba. Di sinilah saya menyaksikan warisan tangible dan intangible cultural heritage menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Mulai dari rumah adat yang masih berdiri kokoh, proses pembuatan ulos yang diwariskan lintas generasi, hingga upacara adat dan tarian yang terus dipentaskan dengan semangat.
Salah satu bentuk paling kuat dari warisan budaya tak benda (intangible) di Huta Raja adalah ulos. Di kampung ini, ulos tidak hanya menjadi simbol adat, tapi juga menjadi roh kehidupan masyarakat. Para perempuan penenun menggunakan alat tradisional seperti gadogan dan palabuan, dengan teknik yang diwariskan secara lisan dan praktik langsung dari generasi ke generasi.
Proses menenun bukanlah aktivitas biasa. Setiap helai benang, setiap motif dan warna mengandung makna---simbol kasih sayang, doa perlindungan, kekuatan hidup, dan hubungan antar keluarga. Inilah kekayaan tak benda yang tak ternilai pengetahuan tradisional, teknik kerajinan tangan, dan ritual pemberian ulos dalam upacara adat Batak Toba.
Di sisi lain, ulos sebagai benda juga termasuk dalam warisan budaya tangible. Produk akhirnya, yakni kain ulos itu sendiri, adalah objek budaya yang menjadi saksi kehidupan masyarakat Batak. Di Huta Raja, saya melihat betapa ulos masih sangat hidup---dipakai dalam upacara, ditenun setiap hari, dan dijual sebagai bentuk ekonomi kreatif berbasis tradisi.
Langkah kaki saya membawa ke deretan rumah adat Rumah Bolon, rumah panggung khas Batak Toba yang masih berdiri utuh di Kampung Huta Raja. Bangunan ini merupakan bentuk nyata dari warisan budaya tangible (benda) yang memiliki nilai sejarah dan simbolik tinggi. Dengan arsitektur atap berbentuk perahu terbalik, struktur kayu yang kuat, serta ukiran-ukiran tradisional di bagian fasad, rumah-rumah ini bukan hanya tempat tinggal---tetapi juga saksi sejarah.
Saya sempat berbincang  dengan salah satu tetua kampung yang bercerita bahwa beberapa rumah sudah berusia lebih dari 100 tahun. Bukan hanya bentuknya yang dipertahankan, tetapi juga fungsi sosialnya. Rumah bolon tetap menjadi pusat kehidupan keluarga besar, tempat berkumpul, dan tempat upacara adat digelar. Ia bukan benda mati, tetapi pusaka hidup yang masih digunakan sebagaimana mestinya sejak zaman dahulu.
Ukiran-ukiran yang terdapat di tiang dan dinding rumah pun menyimpan makna---lambang perlindungan dari roh jahat, kekuatan laki-laki, kesuburan perempuan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa rumah bolon bukan sekadar bangunan, tapi perwujudan nilai-nilai budaya dalam bentuk fisik.