Medan, 26 Mei 2025 - Di kaki perbukitan Danau Toba, terdapat sebuah permukiman tradisional bernama Kampung Ulos Hutaraja, yang terletak di Desa Lumban Suhi-Suhi Toruan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Kampung ini dikenal luas sebagai pusat tenun ulos, kain khas masyarakat Batak yang sarat makna simbolik dan nilai-nilai budaya. Di kampung ini pula, para perempuan menjadi aktor utama dalam menggerakkan ekonomi lokal berbasis warisan budaya.
Tenun ulos di Kampung Hutaraja bukan sekadar kegiatan domestik yang diwariskan secara turun-temurun. Ia telah berkembang menjadi bagian dari ekonomi kreatif yang menopang kehidupan masyarakat sekaligus menjaga kesinambungan tradisi Batak. Aktivitas menenun dilakukan oleh para perempuan setempat di ruang terbuka seperti halaman rumah bolon, rumah adat Batak Toba, dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) secara manual. Proses pewarnaan benang dilakukan dengan bahan alami yang bersumber dari tumbuh-tumbuhan sekitar Danau Toba, menandakan keterikatan yang kuat antara manusia, alam, dan budaya.
Kain ulos yang dihasilkan para penenun kemudian dipasarkan melalui Galeri Ulos Hutaraja yang berada di tengah kampung. Galeri ini menjadi pusat pemasaran yang menampung hasil tenun masyarakat dan mempromosikannya secara daring melalui berbagai platform media sosial. Selain itu, promosi juga dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga seperti Bank Indonesia, pelaku UMKM lokal, dan komunitas Dame Ulos dari Tarutung.
Peran penenun ulos tidak hanya terbatas pada kegiatan produksi, tetapi juga pada promosi produk budaya melalui produk fashion dan souvenir. Ulos kini hadir dalam berbagai bentuk produk kreatif seperti tas, dompet, selempang, dan topi, yang ditampilkan dalam festival budaya seperti "Hita do Hutaraja" dan pertunjukan busana berbahan dasar ulos. Inovasi ini tidak hanya memperluas pasar ulos, tetapi juga menjembatani nilai-nilai tradisi dengan selera modern masyarakat urban dan wisatawan.
Dari sisi ekonomi, harga satu lembar kain ulos bervariasi tergantung jenis dan kualitasnya. Ulos standar dihargai mulai dari Rp300.000 hingga Rp500.000, sementara ulos berkualitas tinggi bisa mencapai Rp5.000.000. Pendapatan dari kegiatan menenun memberikan kontribusi penting terhadap perekonomian rumah tangga para perempuan di kampung ini. Selain itu, kehadiran wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, turut meningkatkan perputaran ekonomi melalui pembelian langsung dan partisipasi dalam kegiatan edukatif seperti melihat proses tenun.
Namun, di balik kontribusi besar para perempuan ini, tantangan masih mengemuka. Minimnya fasilitas penunjang kegiatan tenun menjadi keluhan utama. Banyak penenun bekerja di bawah tenda seadanya atau bahkan hanya berlindung dengan selimut sebagai pelindung dari panas dan hujan. Upaya untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah desa telah dilakukan, namun belum mendapat respons konkret. Hal ini menandakan perlunya perhatian lebih dari pemangku kebijakan terhadap kondisi kerja para pelaku ekonomi tradisional.
Ulos sendiri memiliki sejarah dan makna yang mendalam dalam budaya Batak. Kain ini awalnya digunakan sebagai pelindung dari dingin, namun seiring waktu berkembang menjadi simbol kasih sayang, perlindungan, dan penghormatan dalam berbagai upacara adat seperti kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Setiap jenis ulos memiliki makna tersendiri, seperti Ulos Ragidup yang melambangkan kehidupan, Ulos Ragi Hotang sebagai simbol kekuatan, dan Ulos Maratur yang menggambarkan harapan akan keturunan. Warna-warna pada ulos pun tidak sembarangan; merah menyimbolkan keberanian, putih kesucian, hitam duka, dan kuning kekayaan.
Secara filosofis, masyarakat Batak memaknai ulos sebagai "pengikat kasih sayang" sebagaimana dalam semboyan "Ijuk pangihot ni hodong, ulos pangihot ni holong", yang berarti "seperti ijuk pengikat pelepah ke batang pohon, demikian pula ulos sebagai pengikat cinta kasih antar sesama manusia".
Kampung Ulos Hutaraja tidak hanya menjadi situs pelestarian budaya, tetapi juga menjadi model pemberdayaan perempuan berbasis kearifan lokal. Perempuan-perempuan penenun di kampung ini membuktikan bahwa pelestarian tradisi dapat berjalan seiring dengan penguatan ekonomi. Dalam konteks pembangunan daerah berbasis pariwisata dan budaya, keberadaan mereka menjadi penopang penting dalam membangun identitas sekaligus kesejahteraan masyarakat.