Musik bukan hanya sekedar hiburan semata, tetapi juga sebagai produk budaya untuk merefleksikan dinamika sosial, budaya, politik, dan ideologi. Bahkan untuk menyampaikan aspirasi, kritik sosial tidak hanya bisa disampaikan melalui ruang-ruang formal, melainkan juga bisa disampaikan melalui lirik-lirik lagu. Di Indonesia sendiri musik telah lama menjadi sarana ekspresi bagi seorang atau kelompok masyarakat atas wacana politik, ketidakadilan. Bahkan sejak era Orde Baru hingga Pasca Reformasi, musik telah memainkan peran penting bagi perlawanan.
Menurut Theodor Adorno menegaskan bahwa musik dapat berfungsi sebagai media ideologis yang mampu membentuk sekaligus mengguncang kesadaran sosial. Musik juga menjadi sarana komunikasi yang kompleks, di mana setiap nada dan lirik mengandung potensi makna yang mendalam.
Pada tulisan saya pertama ini, saya sedikit menjelaskan makna lagu dari Pangalo yaitu " Menghidupi Hidup Sepenuhnya " dengan kacamata Absurdism daru Albert Camus. Dalam dunia yang semakin kacau dan penuh dengan ketidakpastian, hadir sebuah karya musik yang tidak hanya menyuarakan keresahan, tapi juga mengajak pendengarnya untuk bertahan, bertanya, dan bahkan merayakan absurditas hidup.
Dibuka dengan lirik, "Menghitung kawan yang bertahan dalam pertempuran / Perang yang personal tantang absurd kehidupan," lagu ini dengan gamblang menyeret kita ke dalam realitas yang dipenuhi oleh pertarungan batin, kesendirian, dan pencarian makna dalam dunia yang tak memberikan kepastian. Di titik inilah, pemikiran Albert Camus tentang absurdism menjadi relevan.
Camus menyatakan bahwa kehidupan adalah absurd karena tidak ada makna yang melekat padanya, namun manusia terus-menerus mencarinya. Lagu ini menggemakan konflik eksistensial yang sama: antara hasrat manusia untuk memahami hidup dan dunia yang justru tak memberi jawaban pasti. Dalam lirik, "Mencoba kompromi dengan belukar hidup yang teramat sulit tuk dimengerti," tergambar jelas perasaan terperangkap dalam absurditas yang tak mudah dipahami namun harus dijalani.
Alih-alih menyerah, Pangalo menyuarakan perlawanan eksistensial: semacam pembangkangan terhadap absurditas itu sendiri, sebagaimana digambarkan dalam lirik, "Dengan musik dan imaji, berani menunda mati tuk penuhi amorfati." Kata "amorfati" yang berarti mencintai takdir, mengingatkan kita pada keberanian untuk menerima hidup dengan seluruh pahit-manis dan ketidakpastiannya.
Dalam puncaknya, lagu ini memproklamirkan perlawanan terhadap nihilisme: "Meskipun tak bermakna tetap jalani hidup ini dengan sepenuhnya." Ini adalah bentuk konkret dari pemberontakan Camusian, di mana manusia menyadari ketidakbermaknaan hidup, namun justru dari kesadaran itu muncul keberanian untuk menciptakan makna sendiri dengan tulus, walau penuh luka.
Pangalo seolah menghidupkan semangat Sisifus, tokoh mitologis favorit Camus, yang meski harus mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh lagi, tetap menjalani tugasnya tanpa menyerah. "Tetaplah kau hunus marahmu macam semangat sisifus / Kepakkan harapanmu bagai sayapnya icarus," menjadi deklarasi keberanian untuk terus bermimpi, mencinta, dan berjuang---meski dunia tetap absurd.
Lagu ini bukan hanya sebuah karya musikal, tetapi juga manifesto filosofis yaitu sebuah ajakan untuk hidup sepenuhnya di tengah absurditas, bukan dengan menyerah, tapi dengan menari dalam kelam, mencipta, dan merayakan hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI