Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Itu Seni Menata Kata

25 Juli 2016   17:25 Diperbarui: 26 Juli 2016   01:20 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: naea.com

Hanya lima kata, tetapi petuah Anton M. Moeliono—munsyi idola saya—masih mengakar kuat di sanubari saya. Padahal pertemuan kami sudah berlangsung lama, tepatnya 10 Maret 2004, di Kuala Lumpur. Kala itu beliau sedang menghadiri Sidang Mabim ke-43, sementara saya tengah berkunjung ke Perpustakaan Tun Seri Lanang, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Akan tetapi, saya tidak akan menulis perihal apa yang saya cari di perpustakaan keren di negara tetangga itu. Bukan juga pernak-pernik Sidang Mabbim (Majelis Bahasa Brunei Darusslam-Indonesia-Malaysia), meskipun Pak Anton sempat menuturkannya. Tulisan ini saya hajatkan sebagai perekat ingatan atas saripati obrolan hangat ihwal bahasa Indonesia bersama beliau.

Yang paling kuat tertanam dalam benak saya adalah petuah lima kata: Menulis itu seni menata kata. Tak peduli siapa kamu dan apa pun yang kamu tulis, tutur beliau, tataan kata akan membuat tulisanmu enak dibaca dan sarat makna. Petuah lima kata itulah yang kini saya jadikan azimat dalam menulis. Namanya juga azimat, pasti saya pelihara dengan tekun dan cermat agar tulisan saya tetap laksana panorama taman yang teduh dan meneduhkan. Atau, dalam guyonan Pak Anton, bak makanan yang gurih dan bergizi.

Baiklah, berikut saya sajikan saripati bincang hangat itu.

Nalar. Karangan atau tulisan yang baik pasti bercirikan penalaran yang baik. Penalaran itu tertuang dalam kalimat-kalimat yang tersusun rapi dan ajek—lazim disebut paragraf—yang terhindar dari gagasan, perkiraan, atau simpulan yang keliru. Tulisan yang tidak salah nalar meniscayakan keteraturan, keterikatan, dan keterkaitan. Teratur dalam menyampaikan gagasan, terikat dalam menyusun kalimat, dan terkait antarparagraf.

Karangan fiksi maupun nonfiksi, bila kita ingin bernas dan bergizi, harus terhindar dari salah nalar atau tidak masuk akal. Dalam fiksi, misalnya, kita bebas berimajinasi. Akan tetapi, tentu tidak masuk akal—secara berseloroh saya sebut lebay—apabila kita menciptakan tokoh bayi yang begitu lahir langsung lincah berlari dan melompat-lompat. Dalam karangan nonfiksi, terutama karangan ilmiah, salah nalar akan berakibat lebih fatal.

Diksi. Ketika menulis bagian ini, ingatan saya langsung meluncur deras ke masa kanak, masa ketika Pak Anton masih kerap mengisi acara pembinaan bahasa Indonesia di TVRI. Terampil memilih kata tidak hanya membutuhkan kecerdasan gramatikal, tetapi juga kecerdasan emosional. Kecerdasan gramatikal membuat kita teliti memilih kata, kecerdasan emosional membantu kita cermat menata kata. Yang pertama berkelindan dengan logika baca, yang kedua berpilin dengan rasa baca.

Kita kembali dulu pada tayangan pembinaan bahasa Indonesia di TVRI itu. Saya suka cara beliau menguraikan dan menuturkan makna atau cara menempatkan kata dalam kalimat. Yang masih lekat dalam ingatan saya adalah perbedaan antara melihat, menatap, memandang, menonton, menyaksikan, mengamati, mengawasi, dan meninjau.

Selintas kata-kata itu tampak sama, padahal memiliki logika dan rasa berbeda. Selain digunakan untuk menyatakan perbuatan secara fisik (Saya melihat kamu merayu pepuja hatiku—contoh), kata melihat juga dapat dipakai untuk menyatakan tindak pikir. Terutama, jika objeknya abstrak. Misalnya: Presiden RI mulai risau melihat rupiah terus-menerus dirisak dolar.

Adapun memandang dapat juga mengacu pada sikap, yang penggunaannya bersinonim dengan menganggap. Misalnya: Jangan memandang remeh kekuatan rinduku kepadamu. Bagaimana dengan menatap, menonton, menyaksikan, dan mengawasi? Tulisan ini akan sangat panjang jika harus tumpah ruah di sini. Saran Pak Anton, yang saya teruskan kepada kalian, rajin-rajinlah mengintimi buku, kamus bahasa, dan kamus istilah. Hanya itu cara agar kita bisa kaya kosakata. 

Pilihan kata yang tepat dan jitu akan memudahkan khalayak pembaca untuk menemukan makna tulisan. Di samping itu, diksi yang apik pun berpengaruh pada rasa baca. Makin apik tataan kata, makin manja mata membaca. Dalam perkara diksi, penulis harus jadi orang kaya. Maksud saya, kaya kosakata. Sia-sia juga beli kamus atau buku banyak-banyak, tapi tidak pernah disentuh apalagi dibaca. Mending duitnya buat anak yatim piatu saja atau beli buku lalu sumbangkan ke Pustaka Bergerak. Tidak, tidak, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kebiasaan kita membeli buku dan tidak membacanya adalah kebiasaan buruk. Tidak begitu. Bagi saya, kebiasaan seperti itu adalah kebiasaan sia-sia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun