Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Saya Menulis Novel

2 Juli 2016   15:10 Diperbarui: 5 Juli 2016   15:05 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Apa saja yang saya lakukan ketika menulis novel? Pertanyaan inilah yang paling kerap muncul sewaktu mengantar Natisha Persembahan Terakhir, novel teranyar saya, pelesiran di tanah kelahiran—Sulawesi Selatan. Pertanyaan ini sebenarnya sederhana, tidak rumit, dan bisa dijawab dengan enteng. Akan tetapi, menguraikan apa yang paling awal saya lakukan manakala akan menulis novel ternyata tidaklah mudah. Cukup pelik. Jadi, saban ditanya seperti itu, biasanya saya bersandar pada spontanitas. Apa yang lebih dahulu berkelebat di benak, itulah jawaban yang bakal terlontar. Ini bukan perkara mengelabui penanya atau menyelamatkan diri dari sergapan pertanyaan yang memojokkan, bukan.

Baiklah, akan saya uraikan hal-hal mendasar yang kerap saya lakukan tatkala berniat menulis novel. Tetapi, sebelum hal itu saya babar, saya hendak jujur-jujuran bahwa, sebenarnya, dalam dunia pernovelan saya masih anak bawang. Novel pertama saya, Sepatu Dahlan, terbit 2012. Jadi, baru empat tahun saya terjun ke dunia novel. Karya saya pun belum seberapa. Baru tiga. Belum habis jari sebelah tangan untuk menghitungnya. Alhasil, belum banyak hal terkait proses kreatif yang dapat saya tuturkan. Tetapi, tak apalah. Mudah-mudahan yang tidak banyak itu berguna bagi khalayak pembaca.

Sekarang kita kembali pada pertanyaan di alinea pertama tulisan ini. Yang paling awal saya lakukan adalah berpanjang angan-angan. Begitu hasrat menulis novel mulai menggelora, saya akan membayangkan (1) apa yang sebenarnya ingin saya kisahkan; (2) kapan latar tahun kisahan itu terjadi; (3) di mana peristiwa dalam kisahan itu mulai bermula dan berakhir; (4) siapa saja yang muncul dalam kisahan itu; (5) bagaimana kisahan itu mengalir; dan (6) mengapa kisahan itu penting saya anggit. Pertanyaan-pertanyaan awal ini biasanya akan membuat saya susah tidur selama bermalam-malam. Meski begitu, saya akan tetap mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Setelah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan awal—yang saya namai kegelisahan-kegelisahan—saya segera memasuki tahapan kedua, yakni memindahkan angan-angan itu ke atas kertas. Dalam hal ini, kertas bisa juga layar monitor, ponsel, atau apa saja yang ada dan dapat saya gunakan pada saat saya memutuskan untuk melakukan tahap kedua. Pada bagian ini saya memastikan (1) langkah-langkah yang harus saya lakukan; (2) apa saja yang saya butuhkan; dan (3) di mana atau dari mana kebutuhan penulisan itu saya bisa penuhi. Pada tahap ini juga tercakup riset dan tenggatnya, pemilahan data dan tenggatnya, serta jadwal penulisan.

Tahap ketiga adalah riset. Tahapan ini biasanya membutuhkan waktu paling lama, tergantung seberapa banyak data yang dibutuhkan dan tingkat kerumitan penelusuran data itu. Ketika meriset untuk Natisha, sekadar menyebut contoh, banyak kendala yang harus saya sikapi dengan tenang dan arif. Narasumber yang enggan diwawancarai, buku atau kitab yang sukar dipinjam apalagi digandakan, pengalaman batin yang terasa gelap untuk diungkat-ungkit lagi, dan sebagainya. Pada tahap ini saya banyak mengonsumsi pil tahan: tahan banting, tahan malu, tahan lapar.

Terkait narasumber yang mengelak diwawancarai adalah perkara paling pelik, apalagi bila data itu terkait data utama yang mesti ada. Bisa Anda bayangkan reaksi narasumber ketika mengetahui saya hendak mengarang perkara parakang, sesuatu yang dikira banyak orang masih antara ada dan tiada. Macam-macam reaksi narasumber. Ada yang meradang karena merasa saya tuduh parakang, ada yang pura-pura menyembunyikan segala yang ia tahu soal parakang, ada yang bahkan langsung menutup pintu rumahnya dan tidak membukanya—walaupun saya ketuk berkali-kali.


Mencari rujukan buku atau kitab pun tak kalah pelik. Ada kitab lontarak bilang yang butuh dikaji berbulan-bulan, ada buku yang harus saya minta dikirimkan oleh teman dari lain benua, ada yang dikira sangat dibutuhkan ternyata memuat bahasan lain saat dibaca. Ada juga buku yang diantar sendiri oleh pemiliknya seolah-olah pemilik buku itu mendapat wangsit atau hal semacam itu. Buku-buku tentang sejarah Kerajaan Bangkala dan Binamu, misalnya. Juga buku-buku tentang Real Madrid dan Barcelona. Namun yang tak kalah pelik adalah memilih dan memilah data apa saja yang harus dan perlu dimasukkan ke dalam kisahan.

Setelah data cukup, barulah saya tiba pada tahap keempat, yakni merancang kisahan. Pada tahap inilah saya menyusun peta naskah—mencakup seluruh isi novel dari awal hingga akhir cerita; memastikan tokoh dan penokohan—mencakup karakter lahir dan batin; serta grafik emosi—mencakup pada bagian mana perlu ada suspens, peningkatan atau penurunan emosi pembaca, dan bagian-bagian yang disembunyikan. Dengan kata lain, kisahan sudah selesai di kepala barulah saya mulai menulis. Pada tahap ini juga saya mengayakan diri dengan novel pembanding yang senapas dan seirama dengan novel yang bakal saya karang. Khusus untuk Natisha saya membaca karangan-karangan Kundera, Hemingway, Lu Hsun, Kuntowijoyo, Pram, Brown, dan Dostoyevsky.

Saya tidak akan memasuki tahap kelima, penulisan novel, selama empat tahap berikutnya belum saya tuntaskan. Saya tidak mau bertemu jalan buntu persis ketika saya sedang asyik-masyuk menulis. Pada tahap kelima biasanya saya mematikan seluruh alat komunikasi, tidak aktif di dunia maya, dan sesekali memilih bersepi-sepi. Tempat menulis juga saya sesuaikan dengan suasana batin saya. Kadang menulis di kamar sendirian, kadang minta ditemani sang pepuja hati, kadang di kafe atau kedai kopi. Saya juga mengusahakan agar kondisi fisik dalam keadaan bugar saban menulis. Kenapa? Mencret saja bisa mengganggu kenyamanan batin, apalagi hidung bocor karena flu berat.

Apakah cuma itu yang saya lakukan? Tidak. Setelah seluruh bagian novel rampung saya tulis, saya akan mencetaknya dan membacanya berkali-kali. Kadang saya minta bantuan sahabat atau orang terdekat. Saya menyebutnya, masa pengendapan. Beruntunglah saya karena sebelum menulis saya lebih dahulu belajar ilmu penyuntingan, sehingga sedapat mungkin saya upayakan novel saya terhindar dari lubang-lubang menganga—yang dapat merusak kisahan atau pengisahan. Setelah itu, barulah saya menganggap proses penulisan selesai.

Ternyata menulis novel itu mudah. Yang sulit, bagi saya, justru menulis apa yang yang saya lakukan ketika menulis novel. Itu terjadi karena tulisan ini tidak menggunakan peta naskah dan grafik emosi. Mengalir begitu saja, ditulis sebisa saya saja. Jangan-jangan ada tahapan yang terlewati. Jangan-jangan ada yang tidak teringat. Jangan-jangan... [kp]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun