Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Teroris, Bacalah Kisah Emmy Saelan dan Wolter Mongisidi

1 April 2021   05:05 Diperbarui: 1 April 2021   17:45 3889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Olah Pribadi

***

Robert Wolter Mongisidi. Nama marganya kerap ditulis Monginsidi, padahal marganya Mongisidi (tanpa ‘n’ di antara huruf ‘i’ dan ‘s’). Bote’, begitu ia sering disapa oleh rekan-rekan seperjuangan. Kendatipun masih muda, teman-temannya di Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) mengenalnya sebagai remaja bernyali.

Bote’ lahir pada 14 Februari 1925 di sebuah pesisir di Desa Bantik Minanga, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Putra keempat dari empat bersaudara. Ayahnya Petrus Mongisidi, ibunya bernama Lina Suawa. Selepas Indonesia merdeka, ia kembali ke Makassar.

Laki-laki muda perancang strategi perang gerilya itu, pada 28 Februari 1947, tertangkap oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA). Namun berkat bantuan teman seperjuangan, ia lolos dari bui. Syahrir Kila mengisahkan perjuangan Bote dalam buku Kelaskaran 45 Sulawesi Selatan.

Tersebutlah pada 27 Oktober 1947, teman-teman Bote memasukkan dua buah granat ke dalam roti. Dari roti isi granat itulah Bote melarikan diri dari terungku. Granat diledakkan. Musuh kacau balau. Bote dan kawan-kawan meloloskan diri lewat lubang cerobong asap.

Kisah heroik Bote’ berakhir pada 5 September 1949. Belanda sudah memberinya keringanan. Ia hanya perlu mengajukan grasi, selembar nyawanya akan diampuni. Namun, Bote menolak. Ia pilih mati demi Indonesia. Ia gugur dihantam peluru eksekutor.

***

Emmy Saelan gugur ketika berusia 23 tahun. Robert Wolter Mongisidi mangkat saat berumur 24 tahun. Mereka berdua mati muda. Soal nyali, jangan ditanya. Soal strategi, jangan sangsi. Namun, mereka harus rela menemui Malaikat Maut demi Ibu Pertiwi.

Adapun pasangan muda di Makassar yang meledakkan bom bunuh diri juga masih muda. Mereka juga sangat bernyali. Namun, mereka mengejar sesuatu yang semu. Mereka memburu ambisi kelompok teroris. Soal nyali, jangan ditanya. Soal strategi, sungguh durjana.

Jangan sangka mereka menyerang dengan modal nekat. Tujuan utama mereka bukan seberapa banyak “musuh” yang meninggal, bukan itu. Mereka hanya ingin menyebar rasa takut. Mereka cuma ingin menunjukkan bahwa mereka bisa beraksi sekalipun di tempat ramai.

Tiada berbeda dengan pelaku teror di Mabes Polri. Target mereka bukanlah seberapa banyak polisi yang meninggal, bukan. Mereka hanya menunjukkan nyali bahwa menerobos barikade polisi atau tentara bisa mereka lakukan. Mereka unjuk gigih untuk unjuk gigi.

Jangan duga mereka menyerang asal-asalan, jangan! Mereka memang terlihat serampangan. Padahal, tidak. Target mereka jelas, menebar ancaman. Sasaran mereka jelas, menyebar ketakutan. Mereka membidik dampak setelah pengeboman atau penembakan.

Sebelum mengebom atau menyerang, mereka sudah siapkan surat wasiat. Mereka menjemput maut dengan segala kesiapan. Nyawa bukan lagi sesuatu yang berharga bagi mereka. Berhasil menabur bibit ketakutan sudah cukup bagi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun