Rasa memiliki yang tinggi pulalah alasan tersirat sehingga SBY membujuk putra sulungnya agar meninggalkan dunia militer. Artinya, menurut SBY, tidak ada kader partai yang layak jual. Marzuki Alie, mustahil. Andi Mallarangeng, sudah lewat. Andi Arief, cukup sebagai tukang mengoceh di medsos. Ibas, ah, kurang megah. Jadilah AHY yang beliau "karbit" untuk meneruskan kehebohan Demokrat.
Maka dari itu, dapatlah dimengerti apabila bendungan sabar SBY jebol. Beliau sampai mengungkit masa lalu. "Selama sepuluh tahun saya pimpin Indonesia ... [saya] tidak pernah mengganggu atau merusak partai lain," kata SBY sebagaimana dinukil oleh Kompas.com.
Ketiga, malu telah mengangkat Moeldoko selaku Panglima TNI. Masih soal nostalgia yang kini jadi nostalgila. SBY merasa sangat malu karena pernah memercayai dan memberikan jabatan yang sangat strategis kepada Jenderal Moeldoko.
Bukan hanya itu. SBY juga sepertinya belum bisa beranjak dari kenangan pahit. Sebelum menjadi Panglima, Moeldoko memang memangku jabatan selaku Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Itu pahit bagi ingatan SBY. Terang saja SBY kesal, sebab ia merasa dikhianati. Begitu ungkap cnnindonesia.com.
Maka wajarlah jika warganet bermurah hati memahami perasaan SBY. Semacam ikut prihatin. Tidak heran jika banyak netizen yang menahan diri untuk tidak ngomong macem-macem. Netizen turut berkabung. Sebagian malah menyebut Moeldoko sebagai "jenderal maling".
Terkait derita dan luka yang kini memamah hati mantan presiden, warganet bersikap budiman, arif, dan bijaksini. Tidak ada komentar seperti SBY seharusnya malu ketika "katakan tidak pada korupsi" berubah menjadi "katakan ya pada korupsi". Tidak ada yang menyebut-nyebut "Monumen Hambalang".
Begitulah sikap SBY terkait KLB Deli Serdang. Kalian tentu tahu bagaimana rasanya dikhianati. Ah, kopi tanpa gula tidak ada apa-apanya. Jadi, duhai warganet yang budiman, prihatinlah pada luka dan duka SBY. Jangan olok-olok beliau dengan menyorongkan masa lalu. Tuhan tidak suka! [kp]