Ananda Sukarlan namanya. Ia seorang komposer. Orangnya membosankan. Ya. Itu pengakuannya sendiri. Bagi saya, tidak. Ia seorang pianis genius. Ia seorang musisi andal. Jari-jemarinya midas. Apa saja yang tersentuh kontan berubah menjadi bunyi.
Gagang pintu. Cangkir kopi. Keset kaki. Semua bisa menjadi nada di tangannya. Apalagi puisi. Kata-kata yang bergerak dan berbunyi digubahnya menjadi nada-nada yang beralun dan bernyawa. Alun simfoninya tidak tanggung-tanggung, karena selalu memanjakan telinga.
Sungguh bikin penasaran. Entah bagaimana kesendirian dan kematian dalam sajak-sajak gubahan Emily Dickinson bergema di tuts piano. Entah seperti apa nanti romantisisme dan idealisme anggitan Miguel Cervantes melengking di tangan Ananda. Entah bagaimana pula bunyi kunang-kunang dan air mata dalam sajak karangan Jose Luis Mejia beralih menjadi simfoni.
Ada satu kabar yang benar-benar membuat saya deg-degan. Dada saya berdebar tambah kencang. Ya. Saya tidak mengada-ada. Sajak besutan saya, Pohon Duka Tumbuh di Matamu, nanti malam akan ikut dilantunkan oleh penyanyi tenor idola, Widhawan Aryo Pradhita. Sungguh mendebarkan.
Bayangkan juga bagaimana proses "mencangkokkan rindu ke cabang-cabang pohon duka" terlukis lewat tarikan not demi not. Belum lagi "cinta yang suka merawat takdirnya sendiri", "sari air mata", "buah pohon duka", hingga "pohon duka tak kenal musim yang tumbuh sesukanya di dada".
Saya pengagum Ananda Sukarlan. Saya penyuka musik klasik. Rasa kagum saya kepada Ananda jelas karena dia komposer musik klasik yang genius. Si Bontot dari tujuh bersaudara itu gemar bikin rumah berisik dengan permainan pianonya. Kakaknya yang les piano, ia yang kecanduan.
Nanti malam, di kanal youtube/budayasaya, Grand Piano Sjuman-Renanda SR1928 The Awekening akan tarpajang megah di pelataran Candi Prambanan yang mewah. Piano itu karya asli putra Pertiwi. Buah tangan Aksan Sjuman dan Raul Renando itu disebut-sebut sebagai salah satu piano terbesar di antero dunia.