Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Drone SAR dan Hasrat Tanggap Bencana

24 Juni 2019   16:30 Diperbarui: 25 Juni 2019   04:14 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DroneSAR menari di angkasa. Mengumpulkan dan merekam segala data yang dipinta | Foto: Dokpri

Mari merenung sejenak. Pada 21--24 Januari 2019, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam Gema BNPB (April 2019, 59) mencatat curah hujan dengan kategori "sangat lebat", 110 mm per hari, menimpa beberapa daerah di Sulawesi Selatan. Bahkan ada kabupaten dengan curah hujan hingga 197 mm per hari. Itu termasuk kategori "hujan ekstrem".

Tarik napas sejenak. Lalu simak data berikut. Banjir bandang melanda 12 kabupaten dan 1 kota di Sulawesi Selatan, masing-masing Jeneponto, Bantaeng, Sinjai, Selayar, Takalar, Gowa, Maros, Pangkep, Barru, Soppeng, Wajo, Sindrap, dan Kota Makassar. Sebanyak 188 desa di 71 kecamatan terdampak banjir.

Itu baru banjir. Sekarang kita beralih ke data berikut. Pada Sabtu malam, 22 Desember 2018, tsunami melanda kawasan Selat Sunda. Enam kabupaten/kota di dua provinsi terkena dampak tsunami. Korban meninggal dan hilang sebanyak 437 orang, sedangkan korban luka-luka mencapai 14 ribu orang. Kira-kira 2.700 rumah dan bangunan lain luluh lantak tersapu gelombang setinggi 1,5--2,5 meter. Sementara itu, sekira 42 ribu jiwa mengungsi.

Silakan tarik napas lagi. Kemudian, kita telaah data ini. Tsunami tak hanya melahap rumah dan bangunan, tetapi merusak bangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Jejak tsunami berupa tumpukan sampah di jalan raya menghambat jalur transportasi dan menyulitkan operasi evakuasi. Belum lagi layanan listrik dan komunikasi.

Selanjutnya, mari kita tengok jejak longsor di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tepat pada pergantian tahun, 31 Desember 2018, hujan dengan intensitas tinggi membuat tanah goyah dan longsor. Luas kawasan yang trerdampak longsor mencapai 10,6 hektare. Selain itu, 13 jiwa dinyatakan hilang, 101 jiwa terkena dampak, dan 29 rumah tertimbun material longsor.

Itu baru tiga jenis bencana. Masih ada ancaman kekeringan dan kebakaran. Juga, kebakaran hutan dan lahan terbuka. Belum lagi gempa bumi dan gunung api. Kita semua intim dengan kabar bencana di media massa dan media sosial.

Hampir setiap hari tersiar kabar tentang daerah yang terkena bencana. Kabar itu sukses mengetuk empati di hati. Itu kabar baiknya. Kabar buruknya juga ada. Sekalipun banyak penduduk yang tahu bahwa Nusantara ini rentan bencana, tidak semua penduduk sadar bencana. Jangankan tanggap bencana, sadar bencana saja belum memadai.

Kecemasan Usang Memicu Inovasi
Setelah merenung, silakan berpikir. Bencana bagi warga Nusantara memang bukan sesuatu yang asing. Kecemasan atas bencana bagai baju usang yang dicuci berkali-kali dan tetap saja dipakai sekalipun sudah kumal dan kusam. Kampanye mitigasi terus diupayakan, tetapi hasilnya seakan-akan "jalan di tempat".

Jangan tersinggung. Saya tidak mengada-ada. Ketika kecelakaan lalu lintas terjadi, tidak sedikit orang yang mengerumuni korban. Akan tetapi, dapat dihitung jari berapa orang yang sigap urun tangan menolong korban. Lebih banyak yang kasak-kusuk tidak keruan. Terkait kecelakaan, mental penonton masih dominan ketimbang mental penolong. Sebagian di antara kita malah tertawa melihat seseorang terperosok di lubang, alih-alih membantu.

Kebakaran, misalnya. Ketika terjadi, kebanyakan orang memilih kalang kabut tanpa tahu apa yang mesti dilakukan. Gempa bumi, misalnya. Ketika terjadi, kebanyakan orang menghambur ke luar rumah demi memburu selamat. Sayang, tidak sedikit yang berdiri ketakutan di bawah pohon tua atau papan reklame.

Lebih mengenaskan lagi, peta rupa bumi beberapa daerah yang rawan bencana jarang diperbarui. Jalur evakuasi yang semula sudah tertaja dan tertata lamban dimutakhirkan. Akibatnya fatal. Ketika terjadi bencana, titik kumpul malah membingungkan karena yang semula lapangan sepak bola sudah berganti "pohon beton" atau bangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun