Semua orang pernah gagal. Namun tidak semua orang tangguh menghadapi kegagalan, apalagi menikmatinya. Sekali gagal saja perih, apalagi berkali-kali. Begitu juga dengan Pak Prabowo.
Belakangan santer tersiar banyak pendukung Pak Jokowi yang jengah gara-gara sikap Pak Prabowo. Sebagian besar mencebik, sebagian kecil mencibir. Pak Prabowo deklarasi kemenangan, pendukung Pak Jokowi meledek. Pak Prabowo sujud syukur, pendukung Pak Jokowi melepeh.
Sepertinya berat bagi para suporter Pak Jokowi untuk menumbuhkan empati. Rasa-rasanya fan garis keras Pak Jokowi enggan menubuhkan simpati. Padahal, sungguh berat menjadi Prabowo. Bahkan teramat sangat berat.
Cobalah sejenak saja membayangkan diri selaku Prabowo, belum tentu kita setangguh beliau menghadapi kegagalan. Boro-boro tangguh, mungkin ada di antara kita yang mudah mengeluh.
Bayangkan. Diberhentikan sebagai tentara sebelum meraih empat bintang, beliau terima. Gagal melenggang sebagai Wakil Presiden mendampingi Ibu Mega, beliau terima. Tersungkur dalam pencalonan presiden pada Pilpres 2014, beliau terima.
Kurang tangguh apa lagi?
Dikelilingi Pemandu Sorak yang Songong
Kendatipun tangguh, Pak Prabowo juga manusia biasa. Jadi lumrah kalau sesekali beliau kesal, menggebrak podium, mengomeli wartawan, hingga menghina orang-orang dari daerah tertentu. Meski begitu, beliau berusaha tabah. Malah sampai berjoget ria di atas panggung.
Sekarang bayangkan jika Anda menjadi titik pusat pendukung semacam Ratna Sarumpaet. Sudah mati-matian membela sampai menggelar konperensi pers, tahu-tahu dikibuli. Bayangkan pula jika Anda dikelilingi tukang kibul. Sudah habis-habisan berkoar menang 62% berdasarkan asumsi penyokong, tahu-tahu sumber data dari antah-berantah.
Belum lagi komentar-komentar miring dari para pemandu soraknya. Poyuono, misalnya, yang menganjurkan pemilih Pak Prabowo supaya mangkir membayar pajak. Poyu menebar komentar beloon, Pak Prabowo yang tidak bersalah apa-apa malah kena getah.
Mundur beberapa bulan ke belakang, beliau juga jadi bulan-bulanan juru sorak. Bayangkan saja. Baru menyetujui pencalonan diri, beliau sudah digelari Jenderal Kardus. Padahal karier beliau cukup cemerlang sebelum akhirnya diberhentikan di dunia militer. Alih-alih dipuja pengusung, malah disebut "kardus".