Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Senandung Luka di Parc des Princes

9 Maret 2019   21:17 Diperbarui: 10 Maret 2019   00:18 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Grafis: pngdownload.id

Manchester United melewati masa kritis. Setelah ambruk 0-2 di kandang sendiri, setelah Pogba terkena larangan bermain akibat kartu merah, setelah sembilan pemain andalan dilibat cedera, klub besutan Ole Gunnar Solksjaer harus melawat ke kandang PSG.

Usaha membalikkan keadaan sesudah keok di Old Trafford bukanlah misi yang mudah. Solksjaer harus memeras otak untuk menghadapi PSG yang sedang trengginas. Sejarah tidak berpihak kepada Solksjaer. Belum ada satu klub pun yang kalah dengan selisih dua gol, di kandang sendiri, berhasil lolos ke babak berikutnya.

Jika ingin lolos, Setan Merah (julukan MU) mesti menang dengan selisih dua gol, tetapi harus mencetak tiga atau lebih gol. Jelas bukan pekerjaan enteng ketika Setan Merah sedang timpang dan compang-camping.

Tidak ada Valencia, Jones, dan Darmian di lini belakang. Pogba, Matic, Mata, dan Ander Harrera juga mustahil dibawa ke Parc des Princes, kandang PSG, untuk menghidupkan lini tengah. Nasib tragis juga menerpa lini depan. Cedera Martial, Shancez, dan Lingard belum pulih. 

Kamis, 7 Maret 2019, Solksjaer mempertunjukkan sentuhan midasnya. Parc des Princes menjadi saksi keberingasan setan-setan belia.

Diogo Dalot turun ke lapangan pada menit ke-36 menggantikan Bailly. Ia jarang mengisi tim utama Setan Merah, bahkan menghiasi bangku cadangan pun tidak. Akan tetapi, sepakannya mengenai lengan Kimpembe, bek PSG, dan memastikan sejarah baru di Liga Champions UEFA.

Solksjaer memasang de Gea di bawah mistar. Posisi bek ditempati oleh Smalling, Bailly, dan Lindelof. Adapun Young, Fred, McTominay, Pereira, dan Shaw menempati lini tengah. Lukaku dan Rashford menjadi tombak kembar di lini depan. Solksjaer berani memakai pola 3-5-2 karena tim besutannya harus bermain menyerang. Memang rentan, tetapi itu harus dilakukan demi sebuah kemenangan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Darah Muda dan Gairah Setan Merah

Tengoklah lini tengah tim besutan Solksjaer itu. Fred baru 17 kali dimainkan sepanjang musim ini, itu pun rata-rata dari bangku cadangan. Scott dan Pereira tidak jauh berbeda, sebab kedua gelandang muda itu baru 13 kali memperkuat Setan Merah pada musim ini.

Tiga pemain belia turun sebagai pemain pengganti, yakni Dalot, Greenwood, dan Chong. Mereka baru merasakan atmosfer Liga Champions dan langsung turun di laga penentu.

Racikan Solksjaer ternyata moncer. Lukaku sudah merobek gawang Buffon ketika laga baru berjalan dua menit. Manakala PSG menyamakan skor lewat Juan Bernat pada menit 12, Setan Merah tidak mengendurkan serangan. Lukaku menceploskan bola lagi ke gawang PSG. Pada menit ke-30, bola sepakan Rashford muntah dari pelukan Buffon. Lukaku mengguratkan harapan bagi MU, sekaligus menggaritkan luka bagi PSG.

Tiga pemain belia tampil militan dan brilian. Di kubu lawan, Mbappe dan Cavani (masuk sebagai pengganti) tidak bebas bergerak. Tinggal satu gol maka sejarah baru tercipta. Dalot beraksi. Tendangan spekulasinya pada menit ke-90 membentur tangan Kimbempe.

Wasit menunjuk titik putih setelah meninjau VAR. Rashford memusnahkan ambisi Buffon. Gol ketiga tercipta. Skor sudah 3-1 dengan agregat 3-3. Setan Merah lolos ke perempat final setelah sembilan menit waktu tambahan berlalu tanpa gol.

Sejarah baru terukir. Solksjaer menorehkan tinta emas. Ia menunjukkan hakikat harapan kepada seluruh pencinta sepak bola. Ia mempertunjukkan esensi "tidak boleh menyerah" kepada kita.

Latar Foto: twitter.com/ManUtd
Latar Foto: twitter.com/ManUtd
Gelegar Harapan dan Kenyataan Pahit

Motivator lazimnya hanya mengungkit gelegar harapan dan jarang mengangkat kenyataan pahit. Ya, kita memang harus menjauhi kata putus asa. Akan tetapi, kita juga harus menyadari bahwa hidup berkaitan dengan garis tangan alias takdir.

Berbicara tentang harapan, seorang pendaki asal Jepang layak ditabalkan sebagai contoh. Para pendaki di seantero dunia mengakui semangat Nobukazu Kuriki. 

Sekalipun tujuh kali gagal mencapai puncak Everest, ia tidak membuatnya patah arang.

Pada 2009, Kuriki mengurungkan mimpi melambaikan bendera di puncak Himalaya. Otoritas Cina memasaknya supaya membatalkan pendakian karena cuaca yang amat ekstrem.

Tahun berikutnya, 2010, Kuriki kembali menggeletarkan semangat. Kali ini ia mendaki Himalaya dari sisi Nepal. Namun, cuaca buruk dan kecelakaan fatal yang menimpa krunya memaksa dirinya kembali menunda hajat. Ia gagal lagi menaklukkan puncak tertinggi di dunia.

Meski begitu, Kuriki tidak jera. Ia kembali mendaki pada 2011. Ia lagi-lagi bernasib nahas. Harapannya punah gara-gara persediaan gas dirusak dan stok makanan digondol oleh sekawanan burung gagak.

Tahun berikutnya, 2012, pria tangguh asal Jepang itu berlindung dari serangan cuaca dingin. Suhu udara kala itu konon mencapai minus 20 derajat Celcius. Ia bersembunyi selama dua hari di dalam sebuah lubang salju pada ketinggian 8.230 meter. Akibatnya, ia relakan sembilan jari-jari tangannya untuk diamputasi.

Apakah Kuriki jeri? Tidak. Ia kembali ke Himalaya pada 2015, 2016, dan 2017. Pendek kata, tidak ada kamus menyerah. Sekalipun cuaca selalu menggagalkan usahanya, ia tidak putus asa.

Pada 2018, ia mendaki Himalaya lagi. Dalam upayanya yang kedelapan inilah ajal menjemputnya. Warga Sherpa, suku di pegunungan Himalaya, menemukan jenazahnya di dalam tenda. Ia ditengarai menderita hipotermia akibat suhu dingin yang sangat ekstrem.

Begitulah. Harapan dan kenyataan  sering tidak seiring-sejalan.

Latar Foto: Benoit Tessier/Reuters
Latar Foto: Benoit Tessier/Reuters
Nasib Buffon dan PSG

Tidak ada penggemar sepak bola yang tidak mengenal Gianluigi Buffon. Ia adalah kiper legendaris, masih aktif di lapangan hijau, dan punya segalanya. Scudetto, Coppa Italia, Supercoppa Italia, Piala Super Prancis, dan Piala Liga Eropa sudah dimilikinya. Bahkan, Piala Dunia. Tinggal Piala Liga Champions UEFA. Padahal, ia sudah 15 tahun berlaga di UCL.

Pada musim 2002-2003, ia melenggang ke final bersama Juventus. Maksud hati mengangkat piala, apa daya timnya kalah adu penalti. Alhasil, AC Milan yang juara.
Ia kembali ke laga final pada musim 2014-2015. Nahas, ia dan klubnya ditaklukkan dengan skor 1-3 oleh Barcelona. Pada 2016-2017 ia kembali ke final. Real Madrid menggagalkan harapannya. Juventus kalah 1-4 dan ia gigit jari.

Usia Buffon sudah 41 tahun, meskipun posisi sebagai kiper masih memungkinkan baginya untuk terus beraksi. Hanya saja, apakah PSG akan memperpanjang masa kontraknya? Entahlah. Hanya Tuhan, manajemen PSG, dan Buffon yang tahu.

Latar Foto: Shaun Botterill/Getty Images
Latar Foto: Shaun Botterill/Getty Images
Setali tiga uang dengan Buffon, ambisi PSG untuk merengkuh Piala Liga Champions belum terpenuhi. Kocek dirogoh sedalam-dalamnya untuk merekrut pelatih. Rekening dikuras sederas-derasnya untuk membeli pemain. Sayang, laga final belum juga ditapaki.

Dalam tiga tahun terakhir, PSG selalu terhenti di babak perdelapan final. Seolah-olah Les Parisiens, julukan PSG, dikutuk oleh semesta. Pada 2017, perempat final sudah benderang. Barcelona dilibas 4-0 di kandang. Apa lacur, PSG luluh lantak 1-6 di kandang Barca.

Setahun kemudian, 2018, PSG keok melawan Real Madrid. Tahun ini, 2019, Cavani dan kolega tumbang di hadapan MU. Garis tangan PSG masih sebatas perdelapan final, tidak setara dengan investasi yang ditaburkan.

Jika menilik mental juara, sebagian besar pemain PSG pernah mengangkat trofi. Singkat kata, PSG merupakan klub kaya raya yang bertabur bintang. Namun, uang bukan garansi utama bagi prestasi yang dikejar-kejar. Tiada beda dengan cinta, selama belum berjodoh tidak bakalan bersatu.

Jangan Kutuk Harapan

Berkaca pada pengalaman Kuriki, Buffon, dan PSG, sejatinya hati pendukung PSG tidak perlu remuk redam. Boleh sedih, asalkan jangan berlarut-larut. Hidup pun begitu, kan? Jatuh berkali-kali, bangkit berkali-kali. Kalau tetap tersungkur, itulah garis tangan.

Walau begitu, tidak semua orang tangguh menanggung kecewa. Neymar di antaranya. Pemain yang dibeli dari Barca, dengan harga yang cukup bagi saya untuk membeli kerupuk udang beribu tronton, ternyata tidak kunjung mengangkat prestasi PSG.

Jangan menyerah, Buffon. Jangan menyerah Serdadu Paris. Hentikan senandung luka itu. Biarkan senandung cinta menggemuruh di Parc des Princes. Jangan menyerah pada luka, Suporter PSG. 

Sesungguhnya, menyerah adalah kata yang khusus diciptakan bagi para pemuja putus asa. [khrisna]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun