Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fadli Zon dan Doa yang Ditukar

8 Februari 2019   08:26 Diperbarui: 26 Mei 2019   15:35 5786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fadli Zon dan Mbah Moen. Foto ini terpajang di akun Twitter Fadli Zon setelah menganggit puisi

Di sini terlihat "kesadaran yang meretakkan". Artinya, menyadari sekaligus mengingkari. Menyadari bahwa salah ucap doa dapat menjadi komoditas unggulan bagi kubunya dan mengingkari kenyataan bahwa sebenarnya itu hanyalah keseleo lidah.

Tidak heran jika serendeng kolega Zon beranggapan bahwa keseleo lidah itu adalah wangsit alias sabda alam. Mereka mengabaikan fakta bahwa Zon dan kolega juga pernah, bahkan sering, keseleo lidah. Kasus Ratna, di antaranya. Haiti, di antaranya lagi. Terlalu banyak kalau saya harus mencantumkan "kasus keseleo lidah di kubu Zon". Lagi pula, keseleo lidah Zon dan kolega  tidak dapat disamakan dengan kasus salah ucap doa oleh Mbah Moen. Jaka Sembung bawa golok, euy!

Pada bait pertama, Zon langsung mengobral gagasan inti puisinya. Ia membuka larik pertama dengan kalimat: doa sakral/ seenaknya kau begal/ disulam tambal/ tak punya moral/ agama diobral. Pada bait ini, Zon asyik bermain-main dengan rima. Persamaan bunyi pada akhir kata muncul di tiap baris.

Tidak perlu mengulik kamus untuk mengetahui makna sakral, begal, tambal, moral, dan diobral. Lima kata itu sangat ramah telinga. Namun, kata "begal" menduduki posisi penting selaku penanda ataupun petanda. Siapa yang begal? Untuk menemukan sosok "kau" dalam baris kedua tinggal dikaitkan dengan judul puisi. Kelar.

Cukup sampai di situ? Tidak. Masalahnya, ada baris "tak punya moral" dan "agama diobral". Saya tidak percaya kalau Zon tidak tahu menahu soal makna dua baris kalimat itu. Jangankan kalimat sesederhana itu, puisi penuh majas dan alegori saja dapat dimengerti oleh Zon. Lain perkara dengan menggubah puisi yang fasih memainkan majas, rasanya saya mulai meragukan kemampuan beliau.

Sekarang kita beranjak pada bait kedua yang berisi: doa sakral/ kenapa kau tukar/ direvisi sang bandar/ dibisiki kacung makelar/ skenario berantakan bubar/ pertunjukan dagelan vulgar. Sebagaimana bait pertama, bait kedua juga masih miskin majas.

Baris kedua pada bait kedua masih jalin-menjalin dengan baris kedua pada bait pertama. Pada hakikatnya, kenapa kau tukar merupakan perulangan dari seenaknya kau begal. Dengan kata lain, kau-yang-membegal masih sosok yang sama dengan kau-yang-menukar.

Mengapa ujung baris disulih dengan kata berakhiran -ar alih-alih mempertahankan kata berakhiran -al? Tampaknya Zon mulai kedodoran mencari kata-kata yang suku kata terakhirnya mengandung -al. Ini bisa dimaklumi sebab belakangan Zon tampak lebih banyak bacot dibanding banyak baca. Tidak, saya tidak mengatakan doi malas membaca. Saya cuma menandaskan bahwa belakangan ini beliau lebih sering bacar mulut daripada baca buku. Akibatnya, puisinya hambar.

Pertanyaan berikutnya mencuat. Siapakah sosok "bandar" yang merevisi doa? Ini jauh dari majas. Ini memang gaya bahasanya Zon yang tertata sejak bait pertama. Merujuk simbol pada judul puisi, pembaca menjadi kelimpungan menerka-nerka. Yang pasti bukan Zon atau siapa pun dari kubu beliau. Namun, kata "bandar" dan "kacung makelar" jelas-jelas tuduhan bersayap yang berpotensi meretakkan kesadaran umat.

Bait ketiga makin mengerucut. Maksud saya, kata-kata yang dipilih Zon makin kecut. Coba kita tilik: doa yang ditukar/ bukan doa otentik/ produk rezim intrik/ penuh cara-cara licik/ kau Penguasa tengik. Sebelum saya telaah kata per kata dalam bait ini, saya berharap semoga Zon menjauh dari cermin.

Baiklah, mari kita sisik bait ketiga. Sekarang Zon sudah menajamkan bilah katanya. Tuntas dan tandas. Tuntas sudah apa yang ingin Zon sampaikan lewat puisi ini, kepada siapa pelor ia tembakkan, dan apa yang ingin ia dapatkan dari desingan pelornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun