Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Penyair dan Api Neraka

13 Desember 2018   03:32 Diperbarui: 13 Desember 2018   16:05 2524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah arti "penyair" adalah "orang yang membuat syair"? 

Sudah lama sekali pertanyaan itu mendera benak saya. Lantas, apa hubungannya dengan "api neraka"? Tenang, jangan panik atau marah-marah. Kendurkan dulu syaraf yang regang. Bukan kendorkan, ya.

Sudah tenang, kan? Oke. Terima kasih karena tidak merawat sumbu pendek sehingga gampang tersulut. 

Baiklah. Saya harus mengakui bahwa judul tulisan ini sedikit kontroversial, sebab secara sengaja saya sandingkan "penyair" dengan "api neraka". Barangkali ada di antara kalian yang bertanya-tanya, bahkan sedikit gusar. Tidak apa-apa. Sedikit doang, kok. 

Sempat tebersit di benak saya untuk mengajak kalian menengok nasib beberapa pujangga yang dituduh sesat atau menganjurkan kesesatan. Akan tetapi, tulisan ini amat ringkas untuk mengudar perkara sebesar itu. Lagi pula, tulisan remeh ini hanya ingin mempertanyakan kata tertentu.

Nah, sekarang mari kita bincangkan beberapa kata yang kerap salah pakai.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Pertama, antara konveksi dan konfeksi. Mungkin kita jarang memperhatikan pertukaran dua kata tersebut. Mungkin kita mengira dua kata itu sebenarnya cuma satu, lalu keliru melafalkannya, dan kesalahan pelafalan kemudian membuat kita juga salah dalam penulisan.

Tidak, ya, tidak sesederhana itu. Kata "konveksi" dan "konfeksi" bukan kata yang semakna. Kata pertama bermakna "peristiwa gerakan benda cair atau karena perbedaan suhu atau tekanan". Jadi, jangan sembarangan memakai kata "konveksi".

Mengapa tidak boleh sembarangan? Huruf /v/ dalam kata "konveksi" di plang perusahaan yang memproduksi pakaian secara massal sebenarnya keliru. Mestinya "konfeksi" jikalau perusahaan tersebut memproduksi baju atau pakaian secara massal.

Kedua, mawas dan wawas. Banyak yang mengira "mawas diri" berarti introspeksi. Sejak saya remaja, kesalahan itu sudah terjadi. Padahal, gabungan kata yang tepat adalah "wawas diri". Mengapa keliru? Karena kata "mawas" sebenarnya adalah salah satu jenis orang hutan.

Sekarang mari kita uji lebih sederhana. Pernahkah kalian mendengar atau membaca kata "mawasan"? Saya yakin kalian akan menggeleng. Memang benar. Kata yang kerap kita dengar atau baca adalah "wawasan". Nah, dari kata itu muncullah wawasan wiyata mandala.

Kata "wawas" diserap dari bahasa Jawa yang berarti amati, tinjau, atau teliti. Jika kita merenung dalam-dalam untuk meninjau kesalahan dan mengamati kekurangan diri, itulah "wawas diri". Mungkin masih  ada orang yang ngeyel memakai "mawas diri". Biarkan saja. Barangkali orang itu tidak mau disebut manusia karena menyangka dirinya orang hutan. 

Ketiga, sendawa dan serdawa. Kedua kata itu getol sekali saya cuitkan di Twitter. Kadang kita keliru mengira bunyi yang keluar dari kerongkongan karena masuk angin atau kenyang sesudah makan disebut "sendawa". Padahal, kata yang tepat adalah "serdawa".

Apakah makna kata sendawa? Sendawa termasuk bahan kimia. Maknanya jauh panggang dari api, kan? Jelas, sebab sendawa biasa digunakan sebagai bahan campuran pembuatan mesiu. 

Jadi, orang yang mengeluarkan bunyi dari kerongkongan setelah makan tidak bisa disebut "sendawa". Sekali lagi, kata yang tepat adalah serdawa.

Keempat, petinju dan peninju. Mengapa keduanya tidak disamakan saja? Bukankah huruf /t/ harus lesap tatkala dibubuhi awalan "pe-"? Bukankah penakut tidak disebut petakut? Jawaban untuk pertanyaan ini agak panjang. Ingat, "agak panjang" bukan berarti benar-benar panjang.

Proses pembentukan kata turunan itu ada aturan mainnya. 

Ambil contoh kata "ajar". Kata ini termasuk lengkap proses pembentukan kata turunannya. Mari kita tilik. Ada dua proses pembentukan kata turunan dari kata dasar ajar, yakni (1) belajar, pelajar, dan pelajaran; (2) mengajar, pengajar, dan pengajaran.

Sekarang kita ulas kata peninju dan petinju. Kedua kata itu berasal dari rahim yang sama, yakni tinju. Proses pembentukan kata turunannya adalah (1) bertinju, petinju, dan pertinjuan; (2) meninju, peninju, dan peninjuan. 

Orang yang tiba-tiba marah dan menonjok orang lain disebut peninju karena sudah meninju. Adapun orang yang setiap hari rutin berlatih tinju dan menjadikan tinju sebagai profesi dinamai "petinju". Artinya, profesi yang digelutinya adalah "bertinju".

Sederhana, kan? 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Mengapa ada petani sementara penani tidak ada? 

Ayo kita lihat proses pembentukan kata turunan dari kata dasar tani. Kegiatan bercocok tanam disebut bertani, sedangkan orang yang bertani disebut petani. Adapun proses atau cara bertani disebut "pertanian". 

Beda dengan ajar dan tinju, pembentukan kata turunan tani tergolong tak lengkap. Keturunan kedua, menani, tidak ada. Lantaran tidak ada kata menani, mustahil pula ada penani dan penanian.

Sama halnya dengan menari. Kata ini hanya memiliki satu proses perubahan, yakni menari. Jika tani tidak punya turunan kedua, tari tidak punya turunan pertama. Itu sebabnya hanya ada menari dan penari.  Dengan demikian, jelaslah bahwa tidak ada turunan bertari. Arkian, takada pula kata pertarian.

Kelima, sair dan syair. Kata ini sangat mensyabah alias hampir sama. Ingat, hampir sama berarti tidak sama. Persis "hampir dicintai" yang sebenarnya berarti "tidak dicintai". Kita semua pasti tahu arti kata "syair", bahkan boleh jadi tanpa melihat kamus. Akan tetapi, belum tentu semua orang tahu kata "sair".

Syair adalah "puisi berisi empat bait dengan ujung yang selalu sama", sedangkan sair adalah "api neraka atau neraka". 

Kita semua tahu kaidah pelesapan, yakni kata dasar yang diawali huruf /s/ harus lesap ketika bertemu awalan "pe-". Maka lahirlah penyaksian, penyertaan, penyakitan, atau penyandaran. Berkenaan dengan kaidah pelesapan, kata sair menghasilkan bentukan "penyair".

Sementara itu, kata yang diawali /sy/ tidak dikenai hukum luluh atau lesap. Itu sebabnya konsonan rangkap /sy/ pada kata pensyarah (dosen, orang yang mengajar di perguruan tinggi; pembicara) tidak dilesapkan menjadi "penyarah".

Lantas apa nama bagi orang yang mengarang syair? 

Nasibnya sama seperti "pensyarah", tidak dilesapkan. Dengan demikian, turunannya adalah "pensyair" yang berarti "orang yang gemar membuat syair". Itu sebabnya kita keliru kalau mengira "penyair" kita turunkan dari kata "syair". Tentu saja kalau kita mau taat kaidah. Kalau tidak, ya, terserah.

Itulah alasan mengapa saya sandingkan "penyair" dengan "api neraka". Kata "penyair" yang dibentuk dari kata dasar "sair" tidak punya erti spesifik. Kalaupun kita ingin berkelakar, bisa saja kita artikan "penyair" dengan "penghuni neraka atau penyulut api neraka".

Namun, hati-hati. Arti yang demikian dapat menyulut kemarahan para pensyair, kalau mereka salah tafsir. Bisa-bisa ada yang mengamuk dan menuding yang bukan-bukan. Sekalipun mulut kita berbusa-busa menerangkan sesuatu, orang yang telanjur kalap jarang bisa menerima penjelasan kita. 

Sudah tersambung dengan judul tulisan ini, kan?" []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun