Pemilu. Kata itu singkatan dari Pemilihan Umum. Namun, pemilu juga bisa dipelesetkan maknanya menjadi "yang membuat jadi pilu".
Barangkali gara-gara pelesetan makna itulah maka istilah untuk pesta demokrasi besar-besaran jarang dipakai. Kini ada istilah yang lebih khusus. Bukan "pemilihan umum" lagi, melainkan "pemilihan yang lebih khusus". Maka lahirlah pilpres, pilkada, pilgub, dan pil-pil lainnya.
Kata "pemilu" tenggelam. Pelan tapi pasti jadi kalah sohor dibanding "pil-pil" yang khusus tadi. Jika kita ingin memilih Presiden maka kita gunakan Pilpres alias Pemilihan Presiden.Â
Tahun 2019 merupakan tahun Pilpres. Karena bahasa Indonesia menganut aturan "Diterangkan-Menerangkan" maka Pilpres diikuti oleh tahun pelaksanaan pesta demokrasi. Jadi setelah Pilpres 2014 akan ada Pilpres 2019, Pilpres 2024, Pilpres 2029, dan seterusnya.
Selain Pilpres ada Pilkada. Kata itu singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah. Calon Gubernur akan bertarung dalam Pemilihan Gubernur atau Pilgub. Adapun calon walikota bertarung dalam Pemilihan Walikota, sedangkan calon bupati mengikuti Pilbup alias Pemilihan Bupati.
Kata pil sendiri bukan tanpa makna. Kata yang tergolong dalam kelas kata benda itu berarti 'obat dalam bentuk yang kecil dan padat'. Nama lainnya adalah tablet. Nah, kata tablet serumpun dengan gawai. Biasanya para pendukung orang-orang yang ikut pil-pil memakai gawai atau tablet. Lewat tablet itulah para pendukung dan pengusung mengelu-elukan calonnya.
Jadi, pil sebenarnya adalah obat. Biasanya terasa pahit, namun punya daya penyembuh. Pil-pil yang disertai nama jabatan mestinya adalah obat bagi rakyat yang ikut pesta pilih-memilih. Nyatanya berbeda. Pil-pil yang pahit itu kadang terasa sekali pahitnya bahkan hingga pemilihan berikutnya tiba. Hal ini terjadi lantaran kita belum sadar makna atau sadar hakikat atas rentetan pil-pil tersebut.
Mengapa bisa demikian? Padahal kita tengah merasakan hawa Kemerdekaan RI. Negara kita sudah berusia 73 tahun. Bukan bayi lagi, bukan remaja lagi. Sudah dewasa, bahkan mulai senja. Ajaibnya, usia dewasa tidak menjamin kedewasaan tim sukses atau para jurkam. Kita dipenjara oleh tradisi hina-menghina, caci-mencaci, dan cakar-cakaran antarpendukung calon. Kita belum merdeka dari kebiasaan dungu semacam "menghalalkan segala cara demi menjatuhkan lawan".
Mari kita kulik hubungan antara peribahasa dan perangai para jurkam. Pelan-pelan saja, Â ya, pelan-pelan saja.
Ketika para jurkam mulai berkoar-koar, bajunya akan dikenakan ke badan orang. Adapun baju orang lain engganlah ia pakai.