"Kamu cewek," seru Ibu sengit, "ngapain maen bola."
"Cakep-cakep kok maen masak-masakan," kata Ayah sambil berdecak-decak. Begitulah. Budaya kelelakian dan keperempuanan bermula dari kecil. Bermula di rumah.
Cuplikan dialog di atas sekadar ilustrasi belaka. Anggap saja prakata bagi tulisan ini.
Ilustrasi itu menegaskan bahwa, tanpa sengaja, anak-anak telah kita bekali kurikulum seks sederhana. Dalam hal ini seks berarti kelamin. Nama pelajarannya keren. Pendidikan Jenis Kelamin. Hanya saja, materinya sangat sederhana. Masih seputar (1) apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, (2) apa yang harus dan tidak harus dikerjakan, serta (3) apa yang pantas dan tidak pantas dipakai.
Ketiga materi tersebut merujuk pada jenis kelamin, yakni lelaki dan perempuan. Itu sebabnya saya namai Pendidikan Jenis Kelamin. Ibarat tangga, baru anak tangga terbawah. Kita belum belum beranjak ke tingkat Pendidikan Gender. Padahal, anak-anak mesti kita bekali pengetahuan tentang gender yang tepat dan memadai.Â
Ketiga materi itu, sekali lagi, baru tingkat dasar. Padahal yang dialami semasa kecil di rumah sering terbawa hingga dewasa. Yang teringat hanya larangan: laki-laki harus begitu, perempuan harus begini. Celakanya, materi pelajarannya cuma menyentuh lapisan paling luar.Â
Antara Jenis Kelamin dan GenderÂ
Banyak yang menyangka gender adalah perempuan. Gender dikira tertuju bagi perempuan saja. Alhasil, pikiran yang melintas begitu mendengar memperjuangkan kesetaraan gender berarti berjuang agar perempuan setara dengan laki-laki.Â
Di situ letak kekeliruan pandangan kita terhadap gender.
Sederhananya begini. Jenis kelamin mengacu pada organ biologis laki-laki dan organ reproduksi perempuan. Laki-laki dan perempuan itu jenis kelamin. Laki-laki punya sperma, perempuan punya sel telur. Laki-laki membuahi, perempuan mengandung dan melahirkan.Â