Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pengalaman Berpuasa yang Menggelikan dan Menggemaskan

22 Mei 2018   16:32 Diperbarui: 22 Mei 2018   18:30 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sewaktu kecil, tak ada istilah puasa setengah hari di kampungku. Kedengarannya kejam, tetapi begitulah adanya. Namanya puasa, kata Ayah, dari imsak sampai magrib. Tidak anak-anak tidak orang dewasa, waktu puasanya sama. 

O ya, buka puasa di kampungku memang selalu dilakukan di masjid. Penyedia makanannya digilir. Hari ini Ibu Anu, besok Ibu Itu. Kadang dalam satu hari ada dua atau tiga keluarga yang bekerja sama menyediakan makanan buka puasa. 

Kalau ada anak kecil di kampungku yang puasanya cuma setengah hari, tentu ia kehilangan peristiwa istimewa: buka puasa bersama di masjid. Dan, anak kecil yang tidak hadir buka puasa bersama berarti dianggap tidak berpuasa. Itu memalukan. Selalu menjadi bahan ledekan. 

Akan tetapi, berhasil berpuasa sehari penuh itu tidak mudah. Begini ceritanya.

Menahan Emosi Melawan Lapar 

Main-main bersama teman-teman. Itulah menu berpuasa yang paling mengasyikkan. Selemas atau seloyo apa pun apabila dua sepupuku, Suhardi dan Jamil, sudah berteriak di depan rumah maka aku pasti bersemangat. 

Kira-kira sejam sebelum zuhur kami tiba di kebun Om Mado, sekitar seratus meter di belakang rumahku. Ada saja yang kami lakukan. Capai petak umpet, main santo--melempari batu target dengan batu di tangan. Yang terdekat pada batu sasaran menjadi pemenang. 

Pakki, teman sepermainan kami, paling jago massanto. Tetapi ia paling tidak tahan diledek. Mudah marah, cepat meledek. Kami menyebutnya koro-koroang. Padahal tidak boleh sewot, semarah apa pun. Bahkan ada istilah Inai larro inai ata. Artinya, yang marah jadi hamba. Masak puasa marah-marah?

Hari itu aku setim dengan Pakki dan Saparuddin, sedangkan Jamil dan Suhardi setim dengan Nurjihadi. Putaran pertama timku menang, tim lawan masih terima. Putaran kedua menang lagi, lawan mulai menggerutu. Putaran ketiga menang lagi, lawan mulai kalut. 

Perang urat syaraf terjadi. Suhardi yang jago debat menuduh kaki Pakki melewati garis lempar. Pakki yang lekas naik pitam langsung ngotot. Nurjihadi mendorong Pakki, Saparuddin kontan membela teman setimnya. Debat makin sengit. Dorong-mendorong makin gencar.

"Kalian lagi puasa," kataku melerai, "jangan berkelahi."

Suhardi mendorong panggungku, Pakki mendorong dadaku. Mendadak kepalaku panas. Aku langsung berjalan ke batu target sambil meraih dahan kayu kering. Dengan sekali sentak, tiga batu pipih selebar buku cerita itu berantakan. 

Suhardi cengengesan. "Ya, marah...."

Pakki menimpali. "Batal puasamu."

"Bodoh amat," sentakku.

Mereka tertawa-tawa dan berjoget-joget. Aku berbalik dan pulang ke rumah. Seruan mereka tidak kuhiraukan. Mereka menyusul, aku berlari. Mereka berlari, aku sudah naik ke rumah. Langsung ke dapur, mengambil nasi dan lauk. Suhardi dan Jamil ikut ke dapur. Keduanya membelalak melihatku makan dengan lahap.

"Kenapa kamu makan?" tanya Jamil.

Aku mendengus. "Aku tidak bisa menahan emosi, jadi marah. Mending makan, toh?"

Suhardi dan Jamil langsung ikut ambil piring. Aku bengong melihat ulah mereka.

"Kenapa kalian ikut makan?"

"Gara-gara kami puasamu batal," jawab Suhardi.

"Kalau lapar bilang lapar," sungutku sambil tertawa.

Bersama-sama Melihat Jam Dinding

Baru ada satu jam dinding di kampungku. Milik Om Syarif, ayah Jamil. Tetapi jam dinding itu ditaruh di masjid. Setelah salat Zuhur atau Asar, biasanya kami tidur-tiduran di masjid. Lantai tanah yang dialasi tikar daun lontar berasa adem. Silir angin dari jendela dan celah-celah dinding bambu sungguh menenangkan.

Segala-gala gaya ada di sini. Ada yang mendengkur seperti lenguh sapi, ada yang duduk bersandar ke dinding sambil sesekali mengusap sudut bibir. Ada yang tengkurap, ada yang telentang. Ada yang melatih hafalan surat-surat pendek, ada yang membaca buku. 

Tetapi, tidur-tiduran bersama setelah Zuhur atau Asar hanyalah variasi bagi kami. Tujuan kami yang sebenarnya adalah melihat jam dinding. Kadang-kadang tanpa aba-aba kami serempak melihat jam dinding. Setelahnya, kami saling menatap sambil mengulum senyum. 

Yang benar-benar tertidur lebih parah. Hal pertama yang mereka lakukan adalah bangun memeluk lutut lalu melirik jam dinding. Menyaksikan dua-tiga orang terbangun dan serentak melihat jam itu adalah pemandangan lucu bagi kami. 

Lupa Akhir Surat al-Kaafiruun

Semasa SMA, saya ikut Tim Safari Ramadan Kecamatan Tamalatea. Saya bertugas berceramah di Kampung Joko. Ternyata di antara jamaah ada Pak Jusuf Ramli, pengurus PD Muhammadiyah Kab. Jeneponto. Waktu itu saya baru saja mengikuti Taruna Melati III, latihan perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah. 

Tentu saja aku agak grogi. Untung lidahku tidak keseleo. Materi ceramah yang kusajikan bisa berterima. Bahkan beberapa tatapan mata jamaah seolah-olah memintaku agar tidak berhenti dulu. Namun, aku tidak ingin membuat jamaah bosan. Maka, aku segera menutup ceramah.

Ketika Tarawih hendak dimulai, orang-orang memintaku jadi imam. Tentu saja aku menolak dan meminta Pak Jusuf yang ke depan. Alih-alih mengiya, beliau malah mendorong pundakku dengan lembut. Terpaksa aku ke depan. Malam itu aku berasa kurang khusyuk. Namun, aku harus memimpin jamaah.

Petaka tiba pada rakaat ketiga salat Witir. Biasanya bacaan setelah al-Fatihah adalah tiga surat pendek terakhir dalam Alquran, yakni al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas. Malam itu tidak. Aku membaca al-Kaafiruun. Parahnya, sudah sekali diulangi tapi ayat terakhir tak teringat. 

Jamaah mendeham. Ada yang berseru subhanallah, ada yang bertepuk tangan. Aku belum juga ingat, malah mengulang lagi bagian walaa an 'abidu. Serentak jamaah membacakan lakum diynikum waliyadin. Saat itulah baru aku tersadar.

Sepulang dari Safari Ramadan itu baru terasa malunya.

Buka Puasa Sebelum Beduk Magrib 

Pengalaman ini masih hangat. Tahun lalu. Waktu itu ada kegiatan menulis sehingga aku dan istriku harus menginap di hotel. Sejak pukul lima petang kami pesan meja untuk berbuka. Setengah enam kami sudah tiba di lantai dua, di restoran hotel.

Ternyata banyak yang berbuka. Meja penuh. Aku dan istriku segera memilih menu di prasmanan. Segelas kolak dan es teh manis. Cukuplah buatku. Setiba di meja, aku langsung melahap kolak. 

"Belum waktunya buka, Yang," kata istriku.

Aku menjawab sambil makan, "Sudah, Nda."

"Belum!"

"Sudah, Nda."

Istriku tampak masih ragu. Tetapi ia mengikutiku. Baru saja ia meraih gelas kolaknya, seorang petugas hotel mendatangi kami.

"Maaf, Pak, belum waktunya buka puasa."

Aku terjelengar, istriku tertawa. Pantas mata orang-orang tertuju padaku. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun