Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rekomendasi Penceramah ala Kemenag yang Membingungkan

20 Mei 2018   02:02 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:25 3382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kemenag.go.id

Ramadan identik dengan ceramah. Tiap ceramah niscaya menghadirkan dua pihak, yakni penceramah selaku yang menceramahi dan pendengar ceramah selaku yang diceramahi.

Belum tentu yang menceramahi lebih mumpuni ilmunya atau lebih dalam pengetahuannya dibanding yang diceramahi. Di pesantren, misalnya, santri sering ceramah di depan para kiai. Walaupun konteksnya berbeda, esensinya tetap berceramah. Ini ilustrasi sederhana saja. 

Manakala umat di satu daerah mengundang penceramah dari luar, belum tentu kompetensi keilmuan pemuka agama di daerah itu tidak atau belum semumpuni mubalig yang diundang. Belum tentu juga reputasi dai yang diundang sedikit lebih baik apalagi jauh lebih baik ketimbang tokoh agama di daerah yang mengundang. Pengundang lazimnya punya alasan tertentu. 

Akan tetapi, saya tidak sedang ingin mengulik-ulik alasan pengundangan. Ada perkara lain yang mencemaskan dan membingungkan saya. Rasa cemas dan bingung itu dipantik oleh rekomendasi Kementerian Agama.

Perkara Fondasi Rekomendasi

Mengapa rekomendasi ini dikeluarkan? Jika alasannya demi keselamatan bangsa, saya jelas-jelas cemas dan bingung. Apakah ustaz yang tidak direkomendasi berpotensi mengancam keselamatan bangsa? Apa titik tumpu penentuan ancaman itu? Bagaimana sesuatu dianggap mengancam?

Saya tiba pada kebingungan berikutnya. Bagaimana rekomendasi itu disusun? Siapa yang mengajukan nama, siapa yang memilah nama, dan siapa yang memilih nama akan menghasilkan keputusan "abu-abu". Boleh jadi objektif, boleh jadi subjektif. Yang sepaham dicontreng, yang berbeda paham dicoret. Maka kemungkinan merekatkan jadi setara dengan meretakkan. 

Khalayak yang menyukai atau mengagumi mubalig tertentu, yang tidak direkomendasi, mungkin saja terusik. Bahkan yang tidak menyukai dan tidak mengagumi juga terusik. Perang opini dan debat kusir pun tersulut. Usik-mengusik, ledek-meledek, sampai sindir-menyindir. Malam tidak usai, siang lanjut lagi. 

Kita sedang berada di zaman yang lidah mau dipuasakan, tetapi jemari kadang tidak mau berpuasa. Tilik saja media sosial. Sengkarut menjadi-jadi.

Perkara Proses Kelahiran Rekomendasi

Di sini saya makin bingung. Ada tiga kriteria penentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun