Di balik pintu suaramu geritau. Apa kamu tak tahu
sekarang jam berapa? Aku pura-pura tuli dan kembali
mengetuk. Di balik pintu suaramu menggeritap. Laku
macam apa kamu mendadak tuli?
Sebelum pergi, tadi pagi, kita pertanyakan tahu
dan laku. Setelah kembali, masih kau persoalkan.
Aku cuma butuh kaubuka pintu. Jika setelahnya
ada rentang pelukan atau bentang makian, itu
nasibku. Apa pedulimu?
Tahu dan laku harus padu. Katamu tadi. Aku ingat.
Tahu aku rindu, aku mendatangimu. Itu laku yang
kutahu. Tetapi apakah cukup bagimu, rindu sebagai
alasan membuka pintu? Bagiku, rindu ini cukup
sebagai alasan berkali-kali datang padamu.
Tahu dan laku harus satu. Kataku tadi. Moga-moga
kamu mengingatnya. Tahu aku datang, cepat-cepat
kaubuka pintu. Itu laku yang kutahu. Tetapi apakah
cukup kaubuka pintu bagiku, sementara dadamu
didesak dan disedak rindu? Bagiku, rindu ini cukup
cakap sebagai balasan atas kemarahan tak perlu.
Di balik pintu suaramu menghilang. Aku tidak tahu
apa ini hidup sisa-sisa atau hidup sia-sia. Kuharap,
bukan sisa-sisa hidup apalagi sia-sia hidup. Kubawa
|rindu bagimu. Suaramu masih hilang. Seolah pintu
kamar kita bisa meredam suara dan kemarahan.
Aku berbisik ke daun pintu. Kekasih, pintu tak pernah
bertanya kenapa ia ditutup padahal nanti dibuka lagi.
Kau menggerunyam. Aku juga begitu. Tak pernah
bertanya mengapa kamu pergi kemudian pulang lagi.
2018