Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Itu Meniru Kreativitas Tuhan

15 April 2018   13:30 Diperbarui: 16 April 2018   13:08 2327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi. Juru Potret: Arco Transept

Keempat, perkaya diri dengan membaca. Tidak, saya tidak sedang ingin menjadi pengkhotbah yang menjejali telingamu dengan dogma-dogma yang, sebenarnya, sudah kerap kamu dengar sedari kecil--tetapi sering kamu abaikan hingga sekarang--apalagi menjadi Manusia Serbatahu yang sedang menasihatimu atas perkara yang sejatinya sudah kamu tahu. Kamu tahu, mustahil kamu mahir menulis cerita tanpa lebih dahulu melahap cerita-cerita penulis lain. Hanya saja, kamu dan sebagian orang yang lalai, merasa sok tahu sehingga jarang meluangkan waktu untuk membaca. Kalaupun membaca, kadang cerita yang kamu kamu baca tidak sampai pada halaman terkahir. Kalaupun kamu baca hingga halaman terakhir, pintu bilik ingatanmu tertutup sehingga yang baru saja kamu baca langsung menguap dari kepalamu.

Membaca cerpen atau novel, terutama pengarang favorit, sepenting kebutuhan kita pada makan dan minum. Begitu satu buku rampung kita baca, segera ambil buku kedua. Dan seterusnya, dan seterusnya. Semuanya kita baca dengan teliti. Selagi asyik-masyuk membaca, ada kalanya pikiran kita bergerak sendiri, melayang ke mana-mana, merambah segala arah. Pada saat itu, keinginan kita menulis mendadak terangsang hebat. Itulah alasan lain mengapa kita, jika masih berhasrat menulis dengan baik, harus rakus membaca. Selain menemukan pola membuka, mengisi, dan menutup cerita, kita juga biasanya menemukan lintasan gagasan yang seakan-akan saat itu membuat kepala kita penuh.

Keenam, kutulis sekali lagi. Arajang, dalam kumpulan cerpen Mengawini Ibu, adalah cerpen yang kutulis dengan tiga gaya berbeda dalam tiga kesempatan berbeda. Meski pada akhirnya saya memilih tulisan ketiga untuk saya kirim ke redaktur sastra sebuah koran. Mengapa saya mesti melakukan tiga percobaan? Keberanian bereksperimen jawabannya. Saya butuh melihat satu materi cerita dengan tiga pengisahan yang berbeda. Ibarat seorang koki mengolah bahan makanan yang sama dengan tiga penyajian berbeda. Dalam hal ini, saya dipukau oleh petuah Aristoteles. Kata filsuf ini, "Keunggulan itu bukan kegiatan sekali jadi; keunggalan adalah perbuatan yang berulang-ulang."

Cobalah temui pengarang idolamu atau pengarang yang kamu kenal. Tanyakan kepadanya riwayat kepengarangannya. Jangan terperangah apabila kemu mendengar jawaban bahwa di antara cerita mereka ada cerita yang berkali-kali dirombak, bahkan ada cerita yang dikirim ke surat kabar atau penerbit situ baru dimuat, setelah sebelumnya ditolak oleh surat kabar atau penerbit sana. 

Ketujuh, berani merombak awal dan akhir cerita. Jika saya merasa bagian awal cerita kurang gereget atau bagian akhirnya kurang menggigit, saya tidak akan ragu-ragu memangkas atau membuang atau menggantinya. Pengarang adalah pembaca pertama terbaik bagi cerita yang dikarangnya. Kalau saya saja kurang menyukai pembuka dan penutup cerita saya, bagaimana bisa saya berharap khalayak pembaca akan menyukainya? Keberanian memangkas dan membuang dan mengganti bagian yang masih berasa kurang adalah hal mutlak, persis saran Rumer Godden, "Menjadi penulis itu butuh keberanian besar."

Jangan salah, ada saja penulis yang merasa sangat sayang jikalau tulisannya dipangkas. Dan, kadang perlakuan pemangkasan itu pula yang bisa mengawali percekcokan antara si penulis dan si penyunting. Yang satu bersikukuh karena merasa tiap bagian tulisannya adalah bagian dari nyawanya, yang satu lagi bersikeras karena menganggap cerita akan lebih bernyawa jika bagian yang dipangkas itu tidak ada.

Dokemtasi Pribadi. Juru Potret: Irfan Rizky
Dokemtasi Pribadi. Juru Potret: Irfan Rizky
Ingatlah selalu, Tuhan tidak pernah ragu mengusir Adam dan Hawa dari surga gara-gara tergoda pada ranumnya buah khuldi. Ingat juga bagaimana Tuhan tidak sungkan-sungkan buat memastikan Iblis tidak pernah menginjak surga lagi lantaran ciptaan-Nya itu menolak sujud pada Adam. Mungkin tamsil saya berlebihan, mungkin juga tidak. Intinya, saya sedang ingin mengatakan bahwa penulis harus berani. Itu saja.

Begitulah, Kawan. Sudah saya bocorkan tujuh langkah yang saya lakukan sebelum, sewaktu, dan setelah merampungkan satu cerita. Sekarang busur dan anak panah berada dalam genggamanmu. Apakah kamu akan merentangkan busur dan melontarkan anak panah imajinasimu? Kamulah penentunya. Pekerjaan penulis adalah menulis. Kamu tidak akan disebut penulis selama kamu tidak menulis!

Jadi, selesaikan tulisanmu. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai!

Kandangrindu, April 2018

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun