Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Empat Rumus Ajaib Membuka Cerita

31 Maret 2018   13:50 Diperbarui: 1 April 2018   11:42 4029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

***

Baiklah, Lema. Karena aku tidak ingin kehilangan dirimu, maka inilah rumus ajaib pertamaku. Jangan mesra-mesraan dengan kata sifat. Sebenarnya ini bukan rumus milikku. Aku hanya menyampaikan ulang kepadamu. Ufft, jangan kesal. Kupelajari teknik ini dari Hemingway. Pengarang idolamu itu jarang menggunakan kata sifat, kecuali benar-benar diperlukan. Jika tidak, libas. Sebagai contoh, coba simak gaya Seno Gumira Ajidarma membuka cerpen Semangkin (d/h semakin).[1]

  

Sukab sudah lupa sejak kapan ia mulai mengucapkan kata semakin menjadi semangkin. Rasanya, sebagai manusia Indonesia yang baik, kita tidak punya kesulitan mengucapkan kata semakin. Bahkan kata yang satu itu sebenarnya juga tidak pernah menjadi masalah. Kata semakin,seperti juga semua kata dalam bahasa Indonesia yang lain, diucapkannya tetap sebagai semakin, bukan semangkin. Sukab tak habis pikir sejak kapan bunyi "ng" itu menyelundup ke pergerakan lidahnya. Berkali-kali ia berusaha mengucapkan kata semakin, tapi yang terdengar selalu semangkin.

Sekarang kamu ambil kamus dan pensil, lalu pelan-pelan baca ulang paragraf di atas seraya tandai kata sifat yang muncul. Rasakan betapa kata-kata mengalir dengan baik karena kata sifat tidak diberi ruang untuk memperlemah pengisahan. Malahan persoalan semakin dan semangkin itu tampak memikat, mengajak pembaca untuk terus membaca hingga akhir cerita. Akan berbeda seandainya kata sifat dibiarkan menyelonong begitu saja. 

Tunggu. Ada satu contoh lagi. Kamu bacalah pembuka cerpen Bagaimana Murjangkung Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut anggitan A.S. Laksana.[2]

  

Ini cerita tentang para pemabuk, tetapi kau bisa membacanya dengan pikiran tenang menurut caramu sendiri. Jika kau tinggal serumah dengan orang yang bising, kurasa ada baiknya kau menyingkir sebentar dari dia dan mencari tempat yang nyaman bagimu untuk menikmati sedikit waktu. Mungkin kau bisa masuk ke kamar kecil, pura-pura berak, padahal kau hanya memerlukan ketenteraman hati, untuk sebuah cerita. Dan ketika kau menemukan tempat setenang kakusmu, kau bisa menarik napas panjang dan merasa lega. Atau kau bisa tetap menyandingi kebisingan sambil membayangkan dirimu berada di taman bunga. Ini sekadar bagaimana cara kita menata pikiran. Hantu ada, kau tahu, karena kita memikirkannya. Begitu pun taman bunga.

Aku bisa saja memudahkanmu dengan langsung menandai kata sifat dalam pembuka cerita di atas, tetapi aku ingin kamu berusaha sendiri. Maaf, aku berharap kamu sudi mengacah kecerdasan gramatikalmu. Setidaknya, mengasah kepekaan gramatikalmu. Itu hanya bisa dilakukan dengan banyak membaca (membaca, bukan berniat membaca). Perhatikan bagaimana Mas Sulak, sapaan akrab A.S. Laksana, meletakkan kata sifat. Jika memang harus ada, kata sifat itu harus mendukung cerita. Bukan memudarkan cerita!

Sekarang menulislah dan biarkan kata-kata berlompatan ke dalam ceritamu, tetapi janganlah terlalu mesra pada kata sifat. Kecuali kamu memang membutuhkannya!

***

Kamu beruntung, Lema, karena sepasang tangan berlumpur dan penuh bercak darah kering itu tidak muncul. Jadi aku bisa mengetik dengan lancar. Sekarang bacalah rumus ajaibku yang kedua. Selesaikan ceritamu, jangan coba-coba tergoda membaca ulang cerita yang baru kamu tulis satu-dua paragraf. Panjang, ya? Tidak apa-apa. Namanya juga rumus dadakan. Lengkapnya, rumus dadakan yang pura-pura diajaib-ajaibkan.

Aku tahu sekarang kamu belum menulis apa-apa. Tidak apa-apa. Jangan peras otakmu terlalu keras. Santai saja. Bercerita itu seperti berak, harus dilakukan dengan khusyuk biar lega setelahnya. Maka, baca dulu bagaimana Agus Noor membuka Cerita buat Bapak Presiden.[3]  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun