Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Itu Menyembuhkan Luka

3 Juli 2016   15:07 Diperbarui: 3 Juli 2016   18:42 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

There is nothing like the magic of love to wipe away our cares.Chidren of the Alley, Naguib Mahfouz

Ketika kulit wajah kita dihiasi jerawat, kita bisa ke sana-kemari mencari obat penyembuh sembari menggerutu sepanjang hari. Ketika telapak kaki kita berdarah akibat tertusuk benda asing yang berujung runcing, kita bisa segera ke rumah sakit untuk mengobatinya. 

Tidak begitu apabila hati kita yang terluka. Obatnya amat susah. Kalaupun ada, belum tentu manjur menyembuhkan luka hati itu. Kalaupun manjur, bisa saja tidak sembuh dalam rentang waktu yang singkat. Kalaupun sembuh dalam waktu singkat, tidak ada garansi luka hati itu tidak akan kambuh di lain hari.

Sesekali luka hati itu dikira sudah kering dan sembuh, tahu-tahu masih basah dan bernanah. Persis letik gelas retak sewaktu diisi air panas, yang diduga masih berguna, ternyata pecah dan malah melukai tangan. 

Sesekali luka hati itu seperti percik api terjatuh ke atas kasur, susah payah dipadamkan, bernapas lega begitu merasa api di kasur sudah padam, tiba-tiba asap memenuhi kamar. Sesekali luka hati itu menjadi pelor bagi ingatan yang sewaktu-waktu mengancam kesehatan batin kita, apalagi bila di kemudian hari kita mengalami kejadian yang serupa.

Kita pasti punya cara berbeda untuk menyembuhkan luka. Saya punya tabib yang piawai menyembuhkan luka—berjenis kecemasan, ketakutan, kegelisahan, kebencian, dan kemarahan. Namanya Menulis. Saya memanggilnya Si Tabib Tulis. Tabib yang akan menggiring luka separah apa pun ke dalam kurungan bernama “masa lalu”—yang kuncinya saya sebut “selamat tinggal kenangan”. 


Mula-mula sang tabib menjarah ingatan saya, kemudian pelan-pelan memindahkan bagian manis dan pahit dari ingatan itu ke dalam tulisan, dan sembuhlah segala luka. Sesederhana itu. Baiklah, supaya Anda tidak penasaran, saya akan berbagi nama obat yang disuguhkan oleh Si Tabib Tulis untuk menyembuhkan luka hati saya.

Kepekaan. Inilah obat pertama yang disodorkan Si Tabib Tulis. Saya ini orang aneh, cenderung lebih tahan lama merawat kenangan pahit—seperti kegagalan, kepahitan, kesusahan, kekecewaan, dan kemarahan—dibanding memelihara kenangan manis. Akan tetapi, kecenderungan itu tidak membuahkan hal-hal buruk di dalam batin saya. Kenangan pahit itu, atas jasa kepekaan, saya jadikan potensi besar untuk mengayakan tulisan. 

Kepekaan itu, biar lebih keren kita sebut sensitivitas, bertugas menggali kenangan sebanyak-banyaknya yang terpendam di tambang ingatan. Sensitivitas itulah yang mengungkit kesadaran saya bahwa, sejatinya apa yang kita alami hari ini selalu unik dan tidak bakal terulang. Hanya terjadi sekali. Dengan sensitivitas tinggi, seluruh peristiwa yang pernah terjadi dapat dengan serta-merta berhamburan ke atas kertas.

Kesadaran. Obat kedua yang disorongkan oleh Si Tabib Tulis ini adalah pemasti bagi batin saya untuk menulis—sebagai laku penyembuhan luka—dengan sadar. Laku menulis dengan sadar terpatri di dasar kalbu sehingga hasrat untuk sembuh muncul sendiri, tanpa perlu tindak paksa atau segala-gala yang menyerap banyak perasan perasaan. 

Alih-alih dibuai luka lama, saya malah bersenang-senang pelesiran di dunia imajinasi—menciptakan garis tangan dan menentukan alir takdir para tokoh—dan yang telah berlalu akhirnya menjadi yang terlupakan. Dengan begitu, tulisan yang lahir dari sayatan perasaan itu akan menghadirkan kesembuhan. 

Hebatnya, kesadaran itu hadir sebagai penyembuh tanpa tuntutan ucapan terima kasih atau permintaan imbal jasa. Bersama kesadaran, saya menyadari bahwa luka hanyalah sempalan atau potongan perasaan yang amat-sangat tidak penting untuk kita rawat sepanjang hidup.  

Kesungguhan. Semula saya kira Si Tabib Tulis sedang kumat sifat jenakanya sehingga meminta saya agar bersungguh-sungguh dalam menulis. Ternyata tidak. Kesungguhan termasuk faktor penentu akan seberapa lama penyembuhan itu berlangsung. Makin tekun makin cepat. Makin apik pula hasilnya. 

Awalnya tidak mudah. Saya harus menempuh banyak cara, hingga saya memastikan bahwa rahasia terbesar saya dalam menulis cuma satu: memperlakukan semua tulisan sebagai catatan harian. Mengapa harus seperti catatan harian? Alasannya sederhana, karena saat menulis catatan harian benak saya tidak menanggung banyak beban: semata-mata menulis untuk diri sendiri. Dengan kata lain, yang saya harus singkirkan dari benak saya adalah pikiran picik bahwa menulis itu beban.

Kecintaan. Inilah obat terakhir yang disuguhkan Si Tabib Tulis ke hadapan batin saya. Tanpa cinta, mustahil kita bisa menulis sepenuh hati. Dengan cinta, tulisan adalah hati itu sendiri. Hanya saja, menumbuhkan rasa cinta mendalam itu bukan perkara mudah. Saya menyebutnya mudah-mudah susah—demi menjaga rima, saya tidak memakai kata gampang—yang terkadang sangat mudah pada satu ketika dan sangat susah pada saat yang lain. 

Dalam hal ini, cinta pada dunia tulis-menulis itu saya perlakukan laksana tanaman, harus dirawat dengan tekun setiap hari. Apalagi jika dikait-pautkan dengan upaya penyembuhan luka, cinta itu akan saya usahakan terus bertumbuh dan bertambah.

Itulah empat obat yang disodorkan Si Tabib Tulis kepada saya. Mungkin saja obat yang sama dapat Anda pakai sebagai penyembuh luka. Mungkin loh. Hanya saja, ada dua perkara yang mesti saya sampaikan kepada Anda. Menurut Si Tabib Tulis, obat-obat itu harus Anda telan dari urutan terakhir. 

Artinya, ini perkara pertama, mulailah segalanya dari cinta. Menyitir pendapat Naguib Mahfouz pada awal tulisan ini, “Tak ada yang menyamai keajaiban cinta dalam menghapus kegelisahan." Adapun perkara kedua pasti sudah sering Anda dengar atau baca. Jangan takut pada kenangan buruk di masa lalu. Begitu pesan Si Tabib Tulis.

Selamat menyembuhkan jerawat. Eh, maaf, menyembuhkan luka! [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun